MENGENAL EPISTEMOLOGI
(Sebuah
Pengantar Memahami Dasar-dasar Kepercayaan)
A. Epistemologi
Perdebatan
tentang epistemologi adalah sesuatu yang diperdebatkan sepanjang sejarah karena
epistemologi adalah hal yang sangat substansil dalam melakukan penilain terhadap
sesuatu, ada hal yang mendasar dalam diskusi-diskusi tentang epistemologi,
yaitu perdebatan tentang apakah epistemologi yang lebih dulu ada dari ontologi
ataukah ontologilah yang lebih dulu ada dari epistemologi.
Para
filosof yang bermazhab emperisme dalam membuktikan tentang kelebih-dahuluan
epistemologi dari ontologi mengatakan
bahwa epistemologilah yang yang lebih dulu ada, karena dia membuktikan lewat
sebuah analisa pengetahuan yang sifatnya emperikal sementara filosof yang lain
mengatakan bahwa ontologilah yang lebih dulu ada, dua hal ini kemudian yang
memetakan antara aliran pemikiran yang bersifat materialistis dan aliran
pemikiran yang bersifat metafisika, pada umumnya tokoh-tokoh filosof dibarat
seperti, John Look, Thomas Hobbes, karl
Marx dan David Home, mereka mengatakan bahwa epitemologilah yang lebih dulu ada
dari pada ontologi, namun ada pertanyaan yang bisa diajukan kepada mereka:
1. bagaimana
caranya mereka bisa mengetahui sesuatu itu ada tanpa adanya realitas.
2. apakah
keberadaan sesuatu itu karena kita memberikan konsepsi kepada sesuatu itu,
ataukah memang dia mempunyai keberadaan tanpa kita memberikan penilaian bahwa
dia itu mempunyai keberadaan.
jawaban dari pertanyaan diatas akan memberikan
gambaran kepada kita bahwa apakah realitas itu ada tanpa kita memberikan
penilaian keberadaan terhadap keberadaannya. Mazhab berpikir emperisme
mengatakan bahwa untuk membuktikan sesuatu itu ada maka kita memerlukan
pengetahuan atau epistemologi sebagai sumber dari pengetahuan kita sehingga
kita bisa mengatakan dia ada atau tidak ada karena kita punya pengetahuan
tentangnya, namun pertanyaan kemudian yang diajukan kepada kaum emperik adalah
dari mana pengetahuan itu bisa ada kalau tidak ada realitas yang lebih dulu
ada, ini adalah menjadi problem dalam sebuah sains atau pengetahuan yang
berdiri diatas pijakan yang emperisme terutama yang dibangun di Eropa terutama
pasca Fransisco Bacon
Mazhab
Metafisika mencoba menjawab, bahwa ontologilah yang lebih dulu mempunyai
keberadaan, karena tanpa realitas maka mustahil kita bisa mengetahui sesuatu,
dan sesuatu itu akan tetap mempunyai keberadaan tanpa kita secara subyektif
memberikan penilaian tentang keberadaannya, seperti keberadaan bulan dan
bintang adalah sesuatu yang niscaya adanya tanpa kita memberikan penilaian
bahwa dia ada atau tidak, karena memang pada kenyataannya dia memang sudah
mempunyai keberadaan.
Dalam
Epistemologi terdiri dari beberapa mazhab pemikiran diantaranya:
1. Mazhab
Emperisme
Adapun doktrin dan landasan penilaiannya adalah sesuai
dengan pengalaman, bahwa sesuatu hanya dikatakan benar ketika dia bersifat
material sehingga keberadaan Tuhan dan yang bersifat non emperik mereka tolak,
tokoh-tokohnya antara lain seperti karl Marx, David Home dan John Look, mereka
mengatakan bahwa ukuran kebenaran adanya sesuatu harus bisa dibuktikan secara
empirik lewat penelitian dan bisa dibuktikan secara ilmiah, padahal kerangka
berpikir yang seperti ini akan membawa kita kepada paradigma yang meniadakan
keberadaan sesuatu yang bersifat non emperik yang tidak bisa diindrai, dan
sebuah konsekwensi logis bila kita memakai prinsip berpikir seperti ini
(kerangka berpikir ilmiah), maka kita akan meniadakan Tuhan dan hal-hal yang
bersifat metafisika. Ada
beberapa pertanyaan yang penulis ingin ajukan kepada kaum emperikal yaitu:
1. kalau memang hanya dengan pengalaman
kita bisa mengetahui sesuatu maka bagaimana kita bisa meyakini bahwa segi tiga
tidak sama dengan segi empat, sedangkan kita tidak mempunyai pengalaman akan hal
itu dan belum pernah melihat secara inderawi.
2. Apakah dengan pengalaman bisa membawa
kita kepada sebuah prinsip yang niscaya kebenarannya yang tidak perlu dibuktikan
lagi dengan pengalaman.
Dari dua
pertanyaan diatas penulis mengira cukup mewakili untuk menguji validitas
kebenaran mazhab berpikir emperikal tanpa merasa untuk menghakimi kaum
emperisme, namun penulis hanya ingin mengatakan bahwa emperisme bukanlah
landasan penilaian dalam menilai sesuatu tapi dia lebih cenderung hanya sebagai
methodologi dalam mengumpulkan data-data dalam mengambil keputusan yang
bersifat emperikal tanpa harus meniadakan bahwa hal yang sifatnya tidak
material juga mempunyai keberadaan hanya saja keterbatasan indra dalam melihat
realitas tersebut.
Jika kaum emperisme menjawab pertanyaan
pertama bahwa itu berdasarkan pengalaman, maka itu akan membawa mereka kepada
kesalahan yang fatal, dan ketika mereka menjawab karena itu rasional, maka
dengan sendirinya mereka telah menggugurkan prinsip berpikir mereka, karena
ukuran kebenaran dan rasional bukan karena berdasarkan indrawi saja tapi ukuran
kebenaran dan rasional sesuatu karena memang dia rasional dan mempunyai nilai
kebenaran itu sendiri sebagaimana halnya diatas bahwa kita tidak pernah melihat
segi tiga tidak sama dengan segi empat, akan tetapi kita bisa memberikan
penilaian tanpa harus didahului pengalam indrawi untuk melihat hal tersebut
sesuai dengan prinsip-prinsip yang sifatnya niscaya lagi rasional, bahwa
sesuatu hanya sama dengan dirinya dan
tidak mungkin sesuatu itu menjadi
bukan dirinya karena dia mustahil keluar dari kediriannya, dalam artian
bahwa sesuatu itu terbatas dalam wujud kediriannya.
Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang
sangat sulit dijawab oleh orang yang mempunyai landasan penilaian yang
bedasarkan emperisme karena bagaimanapun pengalaman sifatnya terbatas oleh
ruang dan waktu, dan jika seandainya mereka menjawab bahwa pengalamanlah yang
akan menentukan penilaian kebenaran dan bisa membawa kita kepada suatu
kebenaran yang sifatnya niscaya, maka ini adalah sesuatu yang kontradiksi dari
prinsip mereka sendiri, dimana mereka mengatakan bahwa pengalaman adalah ukuran
dalam menilai sesuatu, sementara kebenaran yang berdasarkan pada pengalaman
akan selalu mengalami perubahan dan tidak menutup kemungkinan mengandung
kesalahan didalam mengambil kesimpulan, dimana kesimpulannya kemunginan benar,
dan mungkin juga salah, yang menjadi masalah adalah apakah manusia mempunyai
keinginan untuk mengambil suatu keyakinan yang sifatnya relatif, ini adalah
sesuatu yang mustahil karena manusia selalu merindukan kebenaran yang sifatnya
pasti apalagi berkaitan dengan keyakinan dan prinsip hidup. Ini adalah beberapa
kelemahan dalam Mazhab Emperisme (Kerangka berpikir ilmiah), akan tetapi saya
tidak bermaksud menghilangkan methode berpikir ilmiah, hanya menempatkan pada
wilayah yang proporsional, bahwa doktrin
empirisme dan pengalaman lebih cenderung pada wilayah methodologi penelitian
dalam pengumpulan data-data yang bersifat emperik, bukan menjadi suatu landasan
penilaian yang akan membawa kita pada pemahaman yang sifatnya niscaya lagi
rasional, karena pengalaman sendiri masih perlu diuji oleh pengalaman
berikutnya, begitulah seterusnya pengalaman menguji pengalaman dan akan
menghasilkan kebenaran relatif.
2. Mazhab Skripuaalimse
Mazhab berpikir skriptualisme
mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu (kitab suci), bahwa
hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan penilaian terhadap sebuah realitas
dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan
salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan sebuah penilaian.
1. Sifat
klaim akan selalu muncul terhadap pemahaman terhadap ayat, padahal pemahaman
kita terhadap ayat tidak terlepas dari subyektifitas penafsir, sehingga tidak
perlu adanya sifat otoritas tafsir dan klaim kebenaran dari penafsiran terhadap
kitab tertentu dan klaim kebenaran.
2. Agama yang
memiliki kitab suci bukan cuma satu agama tapi banyak agama dan masing
orang-orang yang memeluk agama yang berbeda sama-sama mengklaim bahwa merekalah
pemilik kebenaran, pertanyaan kemudian, mungkinkah agama-agama itu bila
sekiranya mengandung nilai kebenaran akan terjadi hal yang sifatnya
kontradiksi, dan kalau memang mereka sama-sama meyakini kebenaran agama mereka
dan kitab suci mereka, lalu kenapa mesti terjadi pengkafiran bahkan
pembantaian, bahkan dalam sejarah keagamaan di dunia ini telah meninggalkan
duka hitam yang sangat besar kepada ummat manusia karena ratusan juta manusia
telah menjadi korban karena pertikaian dan peperangan antar agama, yang
sama-sama mengklaim pewaris kebenaran.
Dari dua
problem diatas dan beberapa pertanyaan untuk mazhab skriptualisme, akan
mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa ayat-ayat dan kitab suci
bukanlah landasan penilaian dalam mengambil kesimpulan, akan tetapi saya tidak
bermaksud membuang kitab suci, karena menurut penulis bahwa kitab suci adalah
sumber pengetahuan yang kedua setelah prinsip-prinsip rasional yang sifatnya
niscaya seperti, prinsif non-kontradiksi, dan prinsip identitas, yang mempunyai
garis prinsip bahwa kebenaran hanya sama dengan kebenaran itu sendiri karena
kebenaran tidak sama dengan kesalahan dan kebenaran mustahil sekaligus menjadi
kesalahan, inilah prinsip-prinsip yang sifatnya dharuri dalam setiap diri
manusia, dan ini adalah prima principia (prinsip niscaya lagi rasional). Dan
Al-Qur’an kita tempatkan sebagai data-data yang sifatnya metafisika dimana
penelitian yang sifatnya emperikal tidak mampu menelitinya jadi saya tidak
bermaksud membuang dua prinsip tersebut, akan tetapi menempatkan sesuai
tempatnya yang proporsional agar terjadi sifat berfikir yang kritis dan
dinamis, bukan dibelenggu oleh ayat-ayat Tuhan, sehingga manusia bersifat
fatalis dan determenistik, namun bukan juga berarti sekuler yang meninggalkan
agama dalam berpikir yang sifatnya materialistik akan tetapi hanya menempatkan
bahwa keduanya bukanlah landasan dalam mamberikan penilaian akan tetapi hanya
bersifat data-data yang kita butuhkan dalam mengambil kesimpulan.
3. Mazhab
Metafisika
Mazhab
berpikir metafisika mempunyai landasan berfikir rasional dan sesuai dengan
prinsip niscaya lagi rasional yaitu prinsip identitas,
prinsip non kontradiksi dan prinsip ketakterbatasan, serta sebab akibat.
Adapun methodologi berpikir ini dengan cara silogisme yaitu menarik kesimpulan
yang berdasarkan dari umum ke khusus, seperti pada contoh proposisi berikut
ini: Hasan adalah manusia, setiap manusia
akan mati, karena Hasan adalah manusia maka pasti Hasan akan mati.
Mazhab
berpikir metafisika dalam memberikan penilaian mempunyai dua landasan, yaitu
landasan teoritis dan praktis. Adapun landasan yang sifatnya praktis, maka dia
tidak membutuhkan analisa karena tanpa berpikirpun kita sudah bisa
mengetahuinya, seperti pembicaraan tentang ada, apakah kita perlu ragu tentang
ada itu atau tidak, menurut penulis bahwa ada itu adalah sesuatu yang sudah
jelas yang tidak perlu didefenisikan karena fungsi dari defenisi itu sendiri
adalah untuk menjelaskan sesuatu, sementara ada itu sendri adalah sesuatu yang
jelas yang tidak perlu didefenisikan. Rene Descartes ketika mengatakan aku
berfikir maka aku ada, sebenarnya tanpa berfikirpun Rene Descartes sudah ada,
tanpa dia berfikir atau tidak, karena dari mana dia bisa berpikir tanpa dia
mempunyai eksistensi lebih dahulu. Pembahasan ada sebagaimana ada itu sendiri
yang memperjelas tentang dirinya tanpa perlu diperjelas atau didefenisikan
karena memang keberadaannya sudah memperjelas dirinya sendiri tanpa perlu
didefenisikan. Adapun landasan berpikir yang kedua adalah secara teoritis yang
perlu analisa dan defenisi seperti dalam analisa tentang berapa luas segi tiga
dan berapa luas segi empat, tentunya kita membutuhkan pengetahuan sebelumnya
yang sifatnya dharuri dan Nadzari, dharuri itu adalah prinsip niscaya lagi
rasional sebagaimana yang saya telah bahas, dan nadzari itu adalah
postulat-postulat atupun teori-teori untuk kemudian kita bisa mengambil suatu
kesimpulan, seperti rumus matematika, bahwa untuk menjawab luas segi tiga maka
kita akan memakai rumus seperdua kali alas kali tinggi dan untuk mengetahui berapa luas segi empat
maka kita akan memakai rumus panjang kali lebar, sedangkan Al-Qur’an dan hadis
adalah rumus-rumus untuk mengetahui hal-hal yang sifatnya metafisika, seperti
surga dan neraka, jadi mazhab metafisika sebagai sebuah mazhab yang memberikan
landasan penilaian pada rasionalitas dan prinsip niscaya lagi rasional adalah
suatu mazhab berfikir yang bukan menafikan cara berpikir emperik dan skriptual
akan tetapi menempatkan pada tempatnya yang proposional, bahwa keduanya
bukanlah masuk dalam wilayah tasdiqi (penilaian), akan tapi keduanya masuk
dalam wilayah tasawwur (konsepsi) sehingga keduanya tidak bisa menjadi landasan
dalam memberikan sebuah penilaian.
B. Refleksi dasar-Dasar Kepercayaan
Adapun pembahasan yang mendasar pada
pembahasan ini adalah tentang wujud yang sifatnya metafisika, apakah dia
mempunyai keberadaan dan bila memang dia mempunyai keberadaan, lalu bagaimana
membuktikannya, benturan pemikiran antara orang yang ateis dan teis adalah
akibat suatu pandangan dunia yang materialistik dan pandangan dunia yang monoteistik
(Tauhid), ini disebabkan dari mazhab berpikir yang berbeda, sebagaimana yang
telah kami bahas sebelumnya dalam pembahsan Epistemologi, bahwa cara berpikir yang materialistik akan
mengantarkan kita kepada sebuah paradigma yang menafikan tentang adanya wujud
yang sifatnya non emperik itulah sebabnya kenapa saya melakukan perubahan
terhadap kerangka berpikir ilmiah menjadi epistemologi, karena
cara berpikir ilmiah akan membuat paradigma kita dalam memberikan penilaian
berdasarkan data-data yang emperik, sementara pada pembahasan tentang ketuhanan
adalah sesuatu mustahil untuk kita buktikan melalui angka dan
penelitian-penelitian ilmiah, sehingga kerangka berpikir ilmiah tidak bisa kita
pakai untuk melakukan pembuktian tentang ketuhanan dan dengan sendirinya
kerangka berpikir ini harus digantikan dengan mazhab berpikir baru, sebagimana
yang telah saya bahas dalam pembahasan epistemologi.
1.Pembuktian Tentang Adanya Tuhan
Pembahasan tentang wujud adalah
pembahasan yang mendasar dalam tradisi filsafat, mulai dari pemikiran klasik
pada masa Yunani sampai sekarang, dan pengaruh pemikiran Yunani tentang wujud
banyak mempengaruhi dalam aliran pemikiran Islam, terutama ketika terjadi
translition besar-besaran pada masa Bani Abbasyiah, bahkan salah satu tokoh
Filosof dari dunia Islam Ibnu Rusyd dikenal sebagai tokoh penerjemah karena
dialah satu-satunya yang menguasai bahasa yunani pada waktu itu.
Wujud dalam filsafat sering didefenisikan
sebagai Tuhan dimana bila kita melihat pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Zina
tentang wujud, dimana dalam teori Al-farabi dalam membuktikan wujud, dia
menjelaskan dalam gradasi wujud sampai sepuluh tingkatan, dalam filsafat biasa
disebut dengan istilah dari akal pertama sampai akal sepuluh dan dia membagi
wujud dalam dua bagian. Wujud wajib dan wujud mungkin, yang kemudian Ibnu Zina
menambahnya dengan mustahil wujud,
sehingga defenisi tentang wujud dan wajibul wujud dalam filasafat dinisbatkan
kepada Tuhan, karena mungkin itulah kata yang paling tepat untuk mewakilinya
sekalipun sebenarnya kata itu sendiri terbatas. Namun wujud adalah sesuatu yang
mewakili dari semua yang ada karena sesuatu yang mempunyai keberadaanlah yang
bisa dikatakan ada dan yang tidak mempunyai keberadaan adalah tiada, sehingga
tidak mungkin penisbatan ketiadaan itu diberikan kepada yang ada sebagai wajib
adanya (Tuhan). Salah seorang filosof yang masyhur Mulla Shadra memberikan
penjelasan bahwa semua yang ada adalah merupakan tajalli-tajallinya karena ada
itu sendiri hanya satu dan selain dari keberadaan adalah ketiadaan, dan ketiadaan
tidak akan mungkin pernah bisa memberikan efek karena dia sendiri tidak punya
keberadaan untuk memberikan efek, ada itu hanya satu tapi bergradasi sebagaimana
antara sinar matahari dan pancaran sinar yang semakin jauh semakin melemah atau
gradasi wujud yang paling terendah adalah wujud materi.
2. Beberapa teori
tentang pembuktin keberadaan Tuhan
Sebelum kita membuktikan keberadan
Tuhan dengan hukum kausalitas, maka sebelumnya saya akan menguraikan beberapa
teori tentang sebab akibat diantaranya sebagai berikut:
a. Hukum sebab akibat meniscayakan bahwa
sebablah yang wujud dan akibat tidak mempunyai eksistensi yang sejati
sebagaimana keberadaan matahari dengan sinarnya, bahwa mataharilah yang punya
eksistensi sejati sedangkan sinarnya hanya bisa mewujud dengan adanya matahari.
b. Kesemasaan sebab akibat, bahwa sebab
dan akibat bukan terpisah antara ruang dan waktu, melainkan dia semasa
sebagaimana api dan panasnya bukan sesuatu yang terpisah, akan tetapi panasnya
api tidak bisa maujud tanpa adanya api sebagai sebab untuk meniscayakan adanya
panas sebagai sifat dari api itu sendiri.
c. Satu sebab mengeluarkan satu akibat,
dimana prinsip mengatakan bahwa satu sebab tidak mungkin mengeluarkan akibat
yang sifatnya ganda, sebagaimana seorang ibu hanya melahirkan anaknya saja
d. Akibat hanya berasal dari sebabnya
saja, karena tidak mungkin satu akibat lahir tanpa suatu sebab dan mustahil
akibat lahir dari bukan sebabnya, sebagaimana seorang anak hanya lahir dari
ibunya saja. Adalah suatu kemustahilan bahwa seorang anak akan lahir dari bukan
ibunya, karena itu adalah menyalahi prinsip yang sifatnya niscaya lagi rasional
yaitu prinsip non-kontradiksi dan identitas, yang tidak perlu melalui analisa
untuk mengetahuinya karena dia sudah sifatnya dharuri pada diri kita.
e. Sebab sederhana dan sebab rangkap.
Sebab yang sederhana sebab yang tidak tersusun atau tidak murakkab, sedangkan
sebab rangkap adalah sebab yang tersusun, seperti pada contoh, bahwa maujudnya
karena adanya dua sebab yaitu hidrogen dan oksigen yang keduanya menyatu dan
menyebabkan keberadaan air. Dan sebab ini terbagi kepada dua yaitu: Sebab
rangkap lengkap dan sebab rangkap yang kurang, adapun contoh dari sebab rangkap
lengkap, seperti pada tanaman yang kita tanam dan menghasilkan sesuai yang kita
inginkan karena syarat-syarat untuk tumbuh dan berkembang terpenuhi, sedangkan
sebab rangkap kurang adalah seperti pada contoh diatas akan tetapi tidak menghasilkan
hasil sesuai keinginan kita karena ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
f. Sebab hanya sama dengan sebab dan
akibat hanya sama dengan akibat, dan sebab mustahil sekaligus adalah akibat
karena sebab tidak sama dengan akibat demikian pula sebaliknya akibat tidak sama
dengan sebab yang meniscayakan bahwa sebab tidak mungkin menjadi bukan sebab.
g. Emanasi kausalitas, yaitu munculnya
beberapa akibat dari sebab primer secara bertahap, sebagaimana dalam teori
Al-Farabi, bahwa A sebagai sebab primer melahirkan B sebagai akibat dan dari B
kemudian lahir C, dan begitulah seterusnya.
h. Sebab efisien, sebab final dan sebab
material. Sebab efisien adalah sebab yang mengadakan dan sebab final adalah
tujuan akhir dari yang membuat, sedangkan sebab material adalah sebab-sebab
yang sifatnya material yang menyebabkan maujudnya sesuatu. Seperti pada contoh,
untuk maujudnya suatu bangunan maka tentunya ada orang yang membuat bangunan
tersebut dan tujuan dari bangunan itu adalah untuk dihuni dan sebagaimana
biasanya bahwa setiap bangunan pasti membutuhkan bahan dan ala-alat bangunan,
maka bahan-bahan ini disebut sebab material, dan yang mengadakan adalah sebab efisien
sedangkan tujuan dari yang mengadakan itulah yang disebut sebab final.
Dari beberapa penjabaran diatas
tentang teori sebab akibat, dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa ada
beberapa macam sebab akibat. Dimana teori tersebut kita bisa jadikan sebagai
sebuah landasan argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan.
Membuktikan
Tuhan dengan hukum kausalitas pertama bahwa, Hukum sebab akibat meniscayakan
bahwa sebablah yang wujud dan akibat tidak mempunyai eksistensi yang sejati
sebagaimana keberadaan matahari dengan sinarnya, bahwa mataharilah yang punya
eksistensi sejati, sedangkan sinarnya hanya bisa mewujud dengan adanya matahari.
Sebagaimana kita melihat pada alam semesta terjadi perubahan dan alam ini
selalu bergerak mengikuti porosnya, sesuai dengan pengetahuan universal atau
menarik kesimpulan secara deduksi, bahwa setiap yang bergerak pasti mempunyai
penggerak, dan setiap yang berubah pasti ada yang merubah, dimana yang bergerak
itu adalah akibat dan yang berubah itu adalah akibat, sedangkan yang merubah
adalah sebab dan yang menggerakkan adalah sebab. Sehingga dari beberapa
argument diatas kita bisa memberikan kesimpulan bahwa. Alam semesta ini adalah
ciptaan karena dia selalu mengalami perubahan dan selalu bergerak, yang sesuai
dengan prinsip yang rasional bahwa sesuatu tidak akan mungkin bisa bergerak dan
berubah tanpa ada yang menggerakkan atau ada yang merubahnya.
Argumen pembuktian Tuhan yang kedua
adalah sebagaimana dengan prinsip kausalitas yang kedua bahwa sebablah yang
mempunyai eksistensi sejati sedangkan akibat hanyalah aksiden yang keberadaannya
sangat tergantung kepada sebab. Dan ketika kita menghubungkan pahaman kita
dengan realitas atau wujud maka pemahaman kita akan terbagi dalam tiga bagian,
ini sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya dalam teori Al-Farabi dan
Ibnu Zina bahwa wujud itu ada tiga bagian:
1. Pahaman kita tentang wajib adanya,
sebagaimana pengetahuan kita tentang keberadaan ibu kita diluar realitas bahwa
memang itu benar adanya. Dan prinsip kebenaran adalah ide harus sesuai dengan
realitas, ide kita tentang ibu kita diluar realitas sebagai wajib adanya adalah
sama dalam ide dengan realitas external atau kesesuaian pahaman dengan wujud
luar.
2. Pahaman kita tentang mungkin adanya,
adalah pahaman kita yang masih bersifat relatif boleh benar, boleh pula salah,
sebagaimana pahaman kita tentang adanya angsa yang berwarna hitam diluar realitas
yang masih bersifat mungkin ada dan mungkin juga tidak, seperti pengetahuan kita
bahwa di planet Pluto ada air, adalah sesuatu yang masih dalam kemungkinan yang
tidak bersifat mutlak.
3. Pahaman kita tentang mustahil adanya,
adalah sesuatu yang ada hanya dalam pahaman kita tetapi dia tidak mempunyai
realitas external, seperti pahaman kita tentang superman, dan segi tiga bersisi
empat, karena itu adalah hal yang sifatnya kontradiksi karena segi tiga tidak
akan pernah menjadi segi empat, dan bila dia mempunyai sisi empat berarti dia
sudah berubah menjadi segi empat dan bukan lagi segi tiga.
Mungkin-wujud adalah wujud yang
sifatnya tidak mutlak, dimana dia akan maujud bila wajib ada memberikan
keberadaan kepada mungkin-ada, kemudian menjadi wajib-ada karena yang lain
bukan wajib ada karena diri sendiri karena sesuatu yang sifatnya mungkin
mustahil memberi keberadaan kapada yang lain karena dia sendiri keberadaannya
masih bersifat mungkin, sebab yang bisa memberikan wujud pada yang lain adalah
yang keberadaannya sudah pasti. Dan prinsip mengatakan bahwa orang yang
punyalah yang bisa memberi dan orang yang tidak punya mustahil bisa memberi,
sama halnya bahwa wujud mungkin adalah wujud yang belum mempunyai keberadaan
dan mustahil bisa memberikan wujud pada yang lain sementara dia sendiri belum
maujud.
Adapun karakter wajibul wujud (wajib ada) sebagai
berikut:
a. Dia tidak bersebab, karena sebab itu
sendiri adalah dirinya
b. Dia tidak murakkab, sebab sesuatu
yang tersusun pasti mempunyai sebab susunannya, sebagaimana air untuk bisa mengada
maka dia membutuhkan hidrogen dan oksigen sebagai sebab untuk dia bisa maujud.
c. Bukan bagian dari yang lain, karena
jika S sebagai wujud wajib bagian dari yang lain maka bagian yang lain itu
adalah A, yang S adalah wujud wajib dan A adalah wujud mungkin karena wujud
wajib hanya sama dengan wujud wajib dan wujud mungkin hanya sama dengan wujud
mungkin. Sebagaimana sebab hanya sama dengan sebab dan akibat hanya sama dengan
akibat. Dan kalau dia mungkin wujud berarti bukan S bagian dari A, tapi A
adalah bagian dari S. Apabila A adalah wujud wajib sama dengan S, berarti S
tidak BERBADIAN karena yang ada hanyalah
ada dan selain dari ada adalah ketiadaan. Akan tetapi bila A adalah wujud wajib
yang tidak sama dengan A, berarti ada dua wujud wajib, dan ini adalah mustahil
karena sesuatu yang berbilang maka pasti dia tidak sempurna sebagaimana halnya
laki-laki akan mempunyai batasan yang tidak dimiliki dari perempuan seperti
juga sebaliknya, dan sesuatu yang tidak sempurna mustahil kita anggap dia
sebagai yang maha kuasa dan pencipta karena yang maha kuasa adalah yang tidak
mempunyai batasan dan kekurangan, se bagaimana yang dipahami oleh Ahriman
dan Ahuramazda tentang konsep ketuhanan yang meyakini ada Tuhan baik dan
Tuhan buruk inilah kelemahan teori tersebut sebagaimana yang telah saya
jelaskan.
d. Tidak lebih dari satu, yaitu satu
dalam pemahan filosofis, bukan matematika, karena satu dalam matematika masih
bisa terbagi, sementara Tuhan tidak berjumlah dan tidak akan mungkin terbagi
karena yang terbagi berarti mempunyai keterbatasan dan itu adalah mustahil bagi
Tuhan.
Karakter
wujud wajib karena yang lain adalah: bersebab, murakkab, bagian dari yang lain
dan lebih dari yang satu. Seperti yang terjadi pada alam dan manusia. Dan
akibat akan musnah bila sekiranya dia menjauh dari sebabnya, sebagaimana panas
tidak akan pernah ada ketika api tidak ada dan sinar matahari tidak akan maujud
bila seandainya matahari tidak ada.
Manusia
sebagai wujud mungkin sekaligus sebagai sifat selalu tergantung kepada sebabnya
yaitu wajibul wujud (Tuhan), sehingga manusia mempunyai fitrah untuk selalu
mengkomunikasikan (penyembahan) dirinya kepada Tuhannya, namun yang menjadi
masalah kemudian bagaimana proses terima kasih itu dapat terwujud sesuai dengan
kehendak Tuhan, maka sesuai dengan prinsip logis dan rasional Tuhan harus
mengirmkan utusannya untuk memberikan gambaran bagaimana cara kita melakukan
komunaikasi (penyembahan) kepada-Nya. Dan berdasarkan itu Tuhan menurunkan
utusannya untuk mengajarkan manusia tentang proses penyembahan tersebut dalam
bentuk yang sifatnya praktis dan teoritis. Adapun yang bersifat teorits adalah
yang menjelaskan bagaimana pengetahuan kita tentang realitas dan yang bersifat
praktis adalah yang menjelaskan data-data metafisika yaitu kitab suci. Konsep
teoritis dan praktis harus sesuai dan bisa membuktikan kepada kita tentang
sebuah keyakinan yang benar yang tentunya berlandaskan dengan rasionalitas kita
dengan tetap memegang perinsip kedua yaitu data-data kitab suci untuk mencari
mana agama yang paling benar tentunya
dengan berlandaskan argumentasi rasional, bukan dengan perasaan tanpa landasan
yang argumentatif atau dengan skriptual yang kemudian melakukan klaim kebenaran
dan konsekwensi dari cara berpikir seperti ini kita tidak segan-segan melakukan
pengkafiran bahkan memerangi orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Akan
tetapi dengan prinsip rasionalitas berdasarkan hukum kausalitas dan prinsip
niscaya lagi rasional kita dapat membuktikan eksistensi Tuhan, hanya saja kita
belum memilih mana agama yang paling benar, ataukah sebenarnya semua agama
saja, tapi yang jelas kita telah membuktikan keberadaan Tuhan, bahwa Tuhan
mempunyai eksistensi, tinggal bagaimana kita mampu menyelaraskan konsepsi
rasional kita dengan skriptual atau kitab suci, dan saya meyakini bahwa itu
tidak akan mungkin terjadi kontradiksi. Karena akal dan skriptual keduanya
berasal dari sumber yang sama. Untuk pembahasan selanjutnya kenapa kita mesti
memilih agama, dan kenapa islam sebagai pilihan kita, apakah islam agama
rasional ataukah agama normatif. Maka penulis akan membahas pada edisi
selanjutnya dalam pembahasan Esensi Ajaran Islam.
Wabillahi Taufiq Wal-Hidayah
Wassala’mu Alaikum Wr.Wb.
M.Rudi
Al-Mandary
Kabid Diklat LPL PB
HMI