A. Ontologi
Objek telaah ontologi
adalah yang ada. Studi tentang yang ada,
pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada di alam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh
satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi
pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya
akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang
kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang
hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima.
Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam
ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.
Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan
abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu
yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi
dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah
abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens
Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a
posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah
berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi
sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh
: Sesuatu
yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri
(S-Tt)
Jadi, badan itu fana’
(S-P)
B. Epistemologi
Masalah
epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan.
Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan
bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita
mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui
hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru
dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka
dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh
pengetahuan
c.
Aksiologi
Menghadapi kenyataan
seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya
mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke
arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas
tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan
seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah
mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang
dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral
Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas dapat di tarik kesimpulan :
1.
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana
wujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang
membuakan pengetahuan?.
2.
Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di timbanya
pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di
perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut
kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.
3.
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar