Mari Berbagi Dengan Trigon

Mari Berbagi Dengan Trigon
Mari Berbagi Dengan Trigon

Sabtu, 17 Maret 2012

EPISTEMOLOGI


MENGENAL EPISTEMOLOGI
(Sebuah Pengantar Memahami Dasar-dasar Kepercayaan)

A. Epistemologi

          Perdebatan tentang epistemologi adalah sesuatu yang diperdebatkan sepanjang sejarah karena epistemologi adalah hal yang sangat substansil dalam melakukan penilain terhadap sesuatu, ada hal yang mendasar dalam diskusi-diskusi tentang epistemologi, yaitu perdebatan tentang apakah epistemologi yang lebih dulu ada dari ontologi ataukah ontologilah yang lebih dulu ada dari epistemologi.
          Para filosof yang bermazhab emperisme dalam membuktikan tentang kelebih-dahuluan epistemologi dari ontologi  mengatakan bahwa epistemologilah yang yang lebih dulu ada, karena dia membuktikan lewat sebuah analisa pengetahuan yang sifatnya emperikal sementara filosof yang lain mengatakan bahwa ontologilah yang lebih dulu ada, dua hal ini kemudian yang memetakan antara aliran pemikiran yang bersifat materialistis dan aliran pemikiran yang bersifat metafisika, pada umumnya tokoh-tokoh filosof dibarat seperti, John Look, Thomas Hobbes,  karl Marx dan David Home, mereka mengatakan bahwa epitemologilah yang lebih dulu ada dari pada ontologi, namun ada pertanyaan yang bisa diajukan kepada mereka:

1. bagaimana caranya mereka bisa mengetahui sesuatu itu ada tanpa adanya realitas.
2. apakah keberadaan sesuatu itu karena kita memberikan konsepsi kepada sesuatu itu, ataukah memang dia mempunyai keberadaan tanpa kita memberikan penilaian bahwa dia itu mempunyai keberadaan.
           jawaban dari pertanyaan diatas akan memberikan gambaran kepada kita bahwa apakah realitas itu ada tanpa kita memberikan penilaian keberadaan terhadap keberadaannya. Mazhab berpikir emperisme mengatakan bahwa untuk membuktikan sesuatu itu ada maka kita memerlukan pengetahuan atau epistemologi sebagai sumber dari pengetahuan kita sehingga kita bisa mengatakan dia ada atau tidak ada karena kita punya pengetahuan tentangnya, namun pertanyaan kemudian yang diajukan kepada kaum emperik adalah dari mana pengetahuan itu bisa ada kalau tidak ada realitas yang lebih dulu ada, ini adalah menjadi problem dalam sebuah sains atau pengetahuan yang berdiri diatas pijakan yang emperisme terutama yang dibangun di Eropa terutama pasca Fransisco Bacon
          Mazhab Metafisika mencoba menjawab, bahwa ontologilah yang lebih dulu mempunyai keberadaan, karena tanpa realitas maka mustahil kita bisa mengetahui sesuatu, dan sesuatu itu akan tetap mempunyai keberadaan tanpa kita secara subyektif memberikan penilaian tentang keberadaannya, seperti keberadaan bulan dan bintang adalah sesuatu yang niscaya adanya tanpa kita memberikan penilaian bahwa dia ada atau tidak, karena memang pada kenyataannya dia memang sudah mempunyai keberadaan.
          Dalam Epistemologi terdiri dari beberapa mazhab pemikiran diantaranya:
1.     Mazhab Emperisme
Adapun doktrin  dan landasan penilaiannya adalah sesuai dengan pengalaman, bahwa sesuatu hanya dikatakan benar ketika dia bersifat material sehingga keberadaan Tuhan dan yang bersifat non emperik mereka tolak, tokoh-tokohnya antara lain seperti karl Marx, David Home dan John Look, mereka mengatakan bahwa ukuran kebenaran adanya sesuatu harus bisa dibuktikan secara empirik lewat penelitian dan bisa dibuktikan secara ilmiah, padahal kerangka berpikir yang seperti ini akan membawa kita kepada paradigma yang meniadakan keberadaan sesuatu yang bersifat non emperik yang tidak bisa diindrai, dan sebuah konsekwensi logis bila kita memakai prinsip berpikir seperti ini (kerangka berpikir ilmiah), maka kita akan meniadakan Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisika. Ada beberapa pertanyaan yang penulis ingin ajukan kepada kaum emperikal yaitu:
1.     kalau memang hanya dengan pengalaman kita bisa mengetahui sesuatu maka bagaimana kita bisa meyakini bahwa segi tiga tidak sama dengan segi empat, sedangkan kita tidak mempunyai pengalaman akan hal itu dan belum pernah melihat secara inderawi.
2.     Apakah dengan pengalaman bisa membawa kita kepada sebuah prinsip yang niscaya kebenarannya yang tidak perlu dibuktikan lagi dengan pengalaman.
Dari dua pertanyaan diatas penulis mengira cukup mewakili untuk menguji validitas kebenaran mazhab berpikir emperikal tanpa merasa untuk menghakimi kaum emperisme, namun penulis hanya ingin mengatakan bahwa emperisme bukanlah landasan penilaian dalam menilai sesuatu tapi dia lebih cenderung hanya sebagai methodologi dalam mengumpulkan data-data dalam mengambil keputusan yang bersifat emperikal tanpa harus meniadakan bahwa hal yang sifatnya tidak material juga mempunyai keberadaan hanya saja keterbatasan indra dalam melihat realitas tersebut.
  Jika kaum emperisme menjawab pertanyaan pertama bahwa itu berdasarkan pengalaman, maka itu akan membawa mereka kepada kesalahan yang fatal, dan ketika mereka menjawab karena itu rasional, maka dengan sendirinya mereka telah menggugurkan prinsip berpikir mereka, karena ukuran kebenaran dan rasional bukan karena berdasarkan indrawi saja tapi ukuran kebenaran dan rasional sesuatu karena memang dia rasional dan mempunyai nilai kebenaran itu sendiri sebagaimana halnya diatas bahwa kita tidak pernah melihat segi tiga tidak sama dengan segi empat, akan tetapi kita bisa memberikan penilaian tanpa harus didahului pengalam indrawi untuk melihat hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang sifatnya niscaya lagi rasional, bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya dan  tidak mungkin sesuatu itu menjadi  bukan dirinya karena dia mustahil keluar dari kediriannya, dalam artian bahwa sesuatu itu terbatas dalam wujud kediriannya.
  Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh orang yang mempunyai landasan penilaian yang bedasarkan emperisme karena bagaimanapun pengalaman sifatnya terbatas oleh ruang dan waktu, dan jika seandainya mereka menjawab bahwa pengalamanlah yang akan menentukan penilaian kebenaran dan bisa membawa kita kepada suatu kebenaran yang sifatnya niscaya, maka ini adalah sesuatu yang kontradiksi dari prinsip mereka sendiri, dimana mereka mengatakan bahwa pengalaman adalah ukuran dalam menilai sesuatu, sementara kebenaran yang berdasarkan pada pengalaman akan selalu mengalami perubahan dan tidak menutup kemungkinan mengandung kesalahan didalam mengambil kesimpulan, dimana kesimpulannya kemunginan benar, dan mungkin juga salah, yang menjadi masalah adalah apakah manusia mempunyai keinginan untuk mengambil suatu keyakinan yang sifatnya relatif, ini adalah sesuatu yang mustahil karena manusia selalu merindukan kebenaran yang sifatnya pasti apalagi berkaitan dengan keyakinan dan prinsip hidup. Ini adalah beberapa kelemahan dalam Mazhab Emperisme (Kerangka berpikir ilmiah), akan tetapi saya tidak bermaksud menghilangkan methode berpikir ilmiah, hanya menempatkan pada wilayah yang proporsional, bahwa  doktrin empirisme dan pengalaman lebih cenderung pada wilayah methodologi penelitian dalam pengumpulan data-data yang bersifat emperik, bukan menjadi suatu landasan penilaian yang akan membawa kita pada pemahaman yang sifatnya niscaya lagi rasional, karena pengalaman sendiri masih perlu diuji oleh pengalaman berikutnya, begitulah seterusnya pengalaman menguji pengalaman dan akan menghasilkan kebenaran relatif.
2.  Mazhab Skripuaalimse
     Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu (kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan penilaian terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan sebuah penilaian.
          Ada beberapa problem dalam mazhab skriptualisme antara lain:
1. Sifat klaim akan selalu muncul terhadap pemahaman terhadap ayat, padahal pemahaman kita terhadap ayat tidak terlepas dari subyektifitas penafsir, sehingga tidak perlu adanya sifat otoritas tafsir dan klaim kebenaran dari penafsiran terhadap kitab tertentu dan klaim kebenaran.
2. Agama yang memiliki kitab suci bukan cuma satu agama tapi banyak agama dan masing orang-orang yang memeluk agama yang berbeda sama-sama mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran, pertanyaan kemudian, mungkinkah agama-agama itu bila sekiranya mengandung nilai kebenaran akan terjadi hal yang sifatnya kontradiksi, dan kalau memang mereka sama-sama meyakini kebenaran agama mereka dan kitab suci mereka, lalu kenapa mesti terjadi pengkafiran bahkan pembantaian, bahkan dalam sejarah keagamaan di dunia ini telah meninggalkan duka hitam yang sangat besar kepada ummat manusia karena ratusan juta manusia telah menjadi korban karena pertikaian dan peperangan antar agama, yang sama-sama mengklaim pewaris kebenaran.
Dari dua problem diatas dan beberapa pertanyaan untuk mazhab skriptualisme, akan mengantarkan kita kepada suatu pemahaman bahwa ayat-ayat dan kitab suci bukanlah landasan penilaian dalam mengambil kesimpulan, akan tetapi saya tidak bermaksud membuang kitab suci, karena menurut penulis bahwa kitab suci adalah sumber pengetahuan yang kedua setelah prinsip-prinsip rasional yang sifatnya niscaya seperti, prinsif non-kontradiksi, dan prinsip identitas, yang mempunyai garis prinsip bahwa kebenaran hanya sama dengan kebenaran itu sendiri karena kebenaran tidak sama dengan kesalahan dan kebenaran mustahil sekaligus menjadi kesalahan, inilah prinsip-prinsip yang sifatnya dharuri dalam setiap diri manusia, dan ini adalah prima principia (prinsip niscaya lagi rasional). Dan Al-Qur’an kita tempatkan sebagai data-data yang sifatnya metafisika dimana penelitian yang sifatnya emperikal tidak mampu menelitinya jadi saya tidak bermaksud membuang dua prinsip tersebut, akan tetapi menempatkan sesuai tempatnya yang proporsional agar terjadi sifat berfikir yang kritis dan dinamis, bukan dibelenggu oleh ayat-ayat Tuhan, sehingga manusia bersifat fatalis dan determenistik, namun bukan juga berarti sekuler yang meninggalkan agama dalam berpikir yang sifatnya materialistik akan tetapi hanya menempatkan bahwa keduanya bukanlah landasan dalam mamberikan penilaian akan tetapi hanya bersifat data-data yang kita butuhkan dalam mengambil kesimpulan.
3. Mazhab Metafisika
     Mazhab berpikir metafisika mempunyai landasan berfikir rasional dan sesuai dengan prinsip niscaya lagi rasional yaitu prinsip identitas, prinsip non kontradiksi dan prinsip ketakterbatasan, serta sebab akibat. Adapun methodologi berpikir ini dengan cara silogisme yaitu menarik kesimpulan yang berdasarkan dari umum ke khusus, seperti pada contoh proposisi berikut ini:  Hasan adalah manusia, setiap manusia akan mati, karena Hasan adalah manusia maka pasti Hasan akan mati.
     Mazhab berpikir metafisika dalam memberikan penilaian mempunyai dua landasan, yaitu landasan teoritis dan praktis. Adapun landasan yang sifatnya praktis, maka dia tidak membutuhkan analisa karena tanpa berpikirpun kita sudah bisa mengetahuinya, seperti pembicaraan tentang ada, apakah kita perlu ragu tentang ada itu atau tidak, menurut penulis bahwa ada itu adalah sesuatu yang sudah jelas yang tidak perlu didefenisikan karena fungsi dari defenisi itu sendiri adalah untuk menjelaskan sesuatu, sementara ada itu sendri adalah sesuatu yang jelas yang tidak perlu didefenisikan. Rene Descartes ketika mengatakan aku berfikir maka aku ada, sebenarnya tanpa berfikirpun Rene Descartes sudah ada, tanpa dia berfikir atau tidak, karena dari mana dia bisa berpikir tanpa dia mempunyai eksistensi lebih dahulu. Pembahasan ada sebagaimana ada itu sendiri yang memperjelas tentang dirinya tanpa perlu diperjelas atau didefenisikan karena memang keberadaannya sudah memperjelas dirinya sendiri tanpa perlu didefenisikan. Adapun landasan berpikir yang kedua adalah secara teoritis yang perlu analisa dan defenisi seperti dalam analisa tentang berapa luas segi tiga dan berapa luas segi empat, tentunya kita membutuhkan pengetahuan sebelumnya yang sifatnya dharuri dan Nadzari, dharuri itu adalah prinsip niscaya lagi rasional sebagaimana yang saya telah bahas, dan nadzari itu adalah postulat-postulat atupun teori-teori untuk kemudian kita bisa mengambil suatu kesimpulan, seperti rumus matematika, bahwa untuk menjawab luas segi tiga maka kita akan memakai rumus seperdua kali alas kali tinggi  dan untuk mengetahui berapa luas segi empat maka kita akan memakai rumus panjang kali lebar, sedangkan Al-Qur’an dan hadis adalah rumus-rumus untuk mengetahui hal-hal yang sifatnya metafisika, seperti surga dan neraka, jadi mazhab metafisika sebagai sebuah mazhab yang memberikan landasan penilaian pada rasionalitas dan prinsip niscaya lagi rasional adalah suatu mazhab berfikir yang bukan menafikan cara berpikir emperik dan skriptual akan tetapi menempatkan pada tempatnya yang proposional, bahwa keduanya bukanlah masuk dalam wilayah tasdiqi (penilaian), akan tapi keduanya masuk dalam wilayah tasawwur (konsepsi) sehingga keduanya tidak bisa menjadi landasan dalam memberikan sebuah penilaian.

B. Refleksi dasar-Dasar Kepercayaan 
Adapun pembahasan yang mendasar pada pembahasan ini adalah tentang wujud yang sifatnya metafisika, apakah dia mempunyai keberadaan dan bila memang dia mempunyai keberadaan, lalu bagaimana membuktikannya, benturan pemikiran antara orang yang ateis dan teis adalah akibat suatu pandangan dunia yang materialistik dan pandangan dunia yang monoteistik (Tauhid), ini disebabkan dari mazhab berpikir yang berbeda, sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya dalam pembahsan Epistemologi, bahwa cara berpikir yang materialistik akan mengantarkan kita kepada sebuah paradigma yang menafikan tentang adanya wujud yang sifatnya non emperik itulah sebabnya kenapa saya melakukan perubahan terhadap kerangka berpikir ilmiah menjadi epistemologi, karena cara berpikir ilmiah akan membuat paradigma kita dalam memberikan penilaian berdasarkan data-data yang emperik, sementara pada pembahasan tentang ketuhanan adalah sesuatu mustahil untuk kita buktikan melalui angka dan penelitian-penelitian ilmiah, sehingga kerangka berpikir ilmiah tidak bisa kita pakai untuk melakukan pembuktian tentang ketuhanan dan dengan sendirinya kerangka berpikir ini harus digantikan dengan mazhab berpikir baru, sebagimana yang telah saya bahas dalam pembahasan epistemologi.
1.Pembuktian Tentang Adanya Tuhan
Pembahasan tentang wujud adalah pembahasan yang mendasar dalam tradisi filsafat, mulai dari pemikiran klasik pada masa Yunani sampai sekarang, dan pengaruh pemikiran Yunani tentang wujud banyak mempengaruhi dalam aliran pemikiran Islam, terutama ketika terjadi translition besar-besaran pada masa Bani Abbasyiah, bahkan salah satu tokoh Filosof dari dunia Islam Ibnu Rusyd dikenal sebagai tokoh penerjemah karena dialah satu-satunya yang menguasai bahasa yunani pada waktu itu.
Wujud dalam filsafat sering didefenisikan sebagai Tuhan dimana bila kita melihat pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Zina tentang wujud, dimana dalam teori Al-farabi dalam membuktikan wujud, dia menjelaskan dalam gradasi wujud sampai sepuluh tingkatan, dalam filsafat biasa disebut dengan istilah dari akal pertama sampai akal sepuluh dan dia membagi wujud dalam dua bagian. Wujud wajib dan wujud mungkin, yang kemudian Ibnu Zina menambahnya dengan mustahil wujud, sehingga defenisi tentang wujud dan wajibul wujud dalam filasafat dinisbatkan kepada Tuhan, karena mungkin itulah kata yang paling tepat untuk mewakilinya sekalipun sebenarnya kata itu sendiri terbatas. Namun wujud adalah sesuatu yang mewakili dari semua yang ada karena sesuatu yang mempunyai keberadaanlah yang bisa dikatakan ada dan yang tidak mempunyai keberadaan adalah tiada, sehingga tidak mungkin penisbatan ketiadaan itu diberikan kepada yang ada sebagai wajib adanya (Tuhan). Salah seorang filosof yang masyhur Mulla Shadra memberikan penjelasan bahwa semua yang ada adalah merupakan tajalli-tajallinya karena ada itu sendiri hanya satu dan selain dari keberadaan adalah ketiadaan, dan ketiadaan tidak akan mungkin pernah bisa memberikan efek karena dia sendiri tidak punya keberadaan untuk memberikan efek, ada itu hanya satu tapi bergradasi sebagaimana antara sinar matahari dan pancaran sinar yang semakin jauh semakin melemah atau gradasi wujud yang paling terendah adalah wujud materi.
2. Beberapa teori tentang pembuktin keberadaan Tuhan
Sebelum kita membuktikan keberadan Tuhan dengan hukum kausalitas, maka sebelumnya saya akan menguraikan beberapa teori tentang sebab akibat diantaranya sebagai berikut:
a.     Hukum sebab akibat meniscayakan bahwa sebablah yang wujud dan akibat tidak mempunyai eksistensi yang sejati sebagaimana keberadaan matahari dengan sinarnya, bahwa mataharilah yang punya eksistensi sejati sedangkan sinarnya hanya bisa mewujud dengan adanya matahari.
b.    Kesemasaan sebab akibat, bahwa sebab dan akibat bukan terpisah antara ruang dan waktu, melainkan dia semasa sebagaimana api dan panasnya bukan sesuatu yang terpisah, akan tetapi panasnya api tidak bisa maujud tanpa adanya api sebagai sebab untuk meniscayakan adanya panas sebagai sifat dari api itu sendiri.
c.      Satu sebab mengeluarkan satu akibat, dimana prinsip mengatakan bahwa satu sebab tidak mungkin mengeluarkan akibat yang sifatnya ganda, sebagaimana seorang ibu hanya melahirkan anaknya saja
d.    Akibat hanya berasal dari sebabnya saja, karena tidak mungkin satu akibat lahir tanpa suatu sebab dan mustahil akibat lahir dari bukan sebabnya, sebagaimana seorang anak hanya lahir dari ibunya saja. Adalah suatu kemustahilan bahwa seorang anak akan lahir dari bukan ibunya, karena itu adalah menyalahi prinsip yang sifatnya niscaya lagi rasional yaitu prinsip non-kontradiksi dan identitas, yang tidak perlu melalui analisa untuk mengetahuinya karena dia sudah sifatnya dharuri pada diri kita.
e.     Sebab sederhana dan sebab rangkap. Sebab yang sederhana sebab yang tidak tersusun atau tidak murakkab, sedangkan sebab rangkap adalah sebab yang tersusun, seperti pada contoh, bahwa maujudnya karena adanya dua sebab yaitu hidrogen dan oksigen yang keduanya menyatu dan menyebabkan keberadaan air. Dan sebab ini terbagi kepada dua yaitu: Sebab rangkap lengkap dan sebab rangkap yang kurang, adapun contoh dari sebab rangkap lengkap, seperti pada tanaman yang kita tanam dan menghasilkan sesuai yang kita inginkan karena syarat-syarat untuk tumbuh dan berkembang terpenuhi, sedangkan sebab rangkap kurang adalah seperti pada contoh diatas akan tetapi tidak menghasilkan hasil sesuai keinginan kita karena ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
f.       Sebab hanya sama dengan sebab dan akibat hanya sama dengan akibat, dan sebab mustahil sekaligus adalah akibat karena sebab tidak sama dengan akibat demikian pula sebaliknya akibat tidak sama dengan sebab yang meniscayakan bahwa sebab tidak mungkin menjadi bukan sebab.
g.    Emanasi kausalitas, yaitu munculnya beberapa akibat dari sebab primer secara bertahap, sebagaimana dalam teori Al-Farabi, bahwa A sebagai sebab primer melahirkan B sebagai akibat dan dari B kemudian lahir C, dan begitulah seterusnya.
h.    Sebab efisien, sebab final dan sebab material. Sebab efisien adalah sebab yang mengadakan dan sebab final adalah tujuan akhir dari yang membuat, sedangkan sebab material adalah sebab-sebab yang sifatnya material yang menyebabkan maujudnya sesuatu. Seperti pada contoh, untuk maujudnya suatu bangunan maka tentunya ada orang yang membuat bangunan tersebut dan tujuan dari bangunan itu adalah untuk dihuni dan sebagaimana biasanya bahwa setiap bangunan pasti membutuhkan bahan dan ala-alat bangunan, maka bahan-bahan ini disebut sebab material, dan yang mengadakan adalah sebab efisien sedangkan tujuan dari yang mengadakan itulah yang disebut sebab final.
Dari beberapa penjabaran diatas tentang teori sebab akibat, dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa ada beberapa macam sebab akibat. Dimana teori tersebut kita bisa jadikan sebagai sebuah landasan argumen untuk membuktikan keberadaan Tuhan.
          Membuktikan Tuhan dengan hukum kausalitas pertama bahwa, Hukum sebab akibat meniscayakan bahwa sebablah yang wujud dan akibat tidak mempunyai eksistensi yang sejati sebagaimana keberadaan matahari dengan sinarnya, bahwa mataharilah yang punya eksistensi sejati, sedangkan sinarnya hanya bisa mewujud dengan adanya matahari. Sebagaimana kita melihat pada alam semesta terjadi perubahan dan alam ini selalu bergerak mengikuti porosnya, sesuai dengan pengetahuan universal atau menarik kesimpulan secara deduksi, bahwa setiap yang bergerak pasti mempunyai penggerak, dan setiap yang berubah pasti ada yang merubah, dimana yang bergerak itu adalah akibat dan yang berubah itu adalah akibat, sedangkan yang merubah adalah sebab dan yang menggerakkan adalah sebab. Sehingga dari beberapa argument diatas kita bisa memberikan kesimpulan bahwa. Alam semesta ini adalah ciptaan karena dia selalu mengalami perubahan dan selalu bergerak, yang sesuai dengan prinsip yang rasional bahwa sesuatu tidak akan mungkin bisa bergerak dan berubah tanpa ada yang menggerakkan atau ada yang merubahnya.
Argumen pembuktian Tuhan yang kedua adalah sebagaimana dengan prinsip kausalitas yang kedua bahwa sebablah yang mempunyai eksistensi sejati sedangkan akibat hanyalah aksiden yang keberadaannya sangat tergantung kepada sebab. Dan ketika kita menghubungkan pahaman kita dengan realitas atau wujud maka pemahaman kita akan terbagi dalam tiga bagian, ini sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya dalam teori Al-Farabi dan Ibnu Zina bahwa wujud itu ada tiga bagian:
1.     Pahaman kita tentang wajib adanya, sebagaimana pengetahuan kita tentang keberadaan ibu kita diluar realitas bahwa memang itu benar adanya. Dan prinsip kebenaran adalah ide harus sesuai dengan realitas, ide kita tentang ibu kita diluar realitas sebagai wajib adanya adalah sama dalam ide dengan realitas external atau kesesuaian pahaman dengan wujud luar.
2.     Pahaman kita tentang mungkin adanya, adalah pahaman kita yang masih bersifat relatif boleh benar, boleh pula salah, sebagaimana pahaman kita tentang adanya angsa yang berwarna hitam diluar realitas yang masih bersifat mungkin ada dan mungkin juga tidak, seperti pengetahuan kita bahwa di planet Pluto ada air, adalah sesuatu yang masih dalam kemungkinan yang tidak bersifat mutlak.
3.     Pahaman kita tentang mustahil adanya, adalah sesuatu yang ada hanya dalam pahaman kita tetapi dia tidak mempunyai realitas external, seperti pahaman kita tentang superman, dan segi tiga bersisi empat, karena itu adalah hal yang sifatnya kontradiksi karena segi tiga tidak akan pernah menjadi segi empat, dan bila dia mempunyai sisi empat berarti dia sudah berubah menjadi segi empat dan bukan lagi segi tiga.
Mungkin-wujud adalah wujud yang sifatnya tidak mutlak, dimana dia akan maujud bila wajib ada memberikan keberadaan kepada mungkin-ada, kemudian menjadi wajib-ada karena yang lain bukan wajib ada karena diri sendiri karena sesuatu yang sifatnya mungkin mustahil memberi keberadaan kapada yang lain karena dia sendiri keberadaannya masih bersifat mungkin, sebab yang bisa memberikan wujud pada yang lain adalah yang keberadaannya sudah pasti. Dan prinsip mengatakan bahwa orang yang punyalah yang bisa memberi dan orang yang tidak punya mustahil bisa memberi, sama halnya bahwa wujud mungkin adalah wujud yang belum mempunyai keberadaan dan mustahil bisa memberikan wujud pada yang lain sementara dia sendiri belum maujud.
Adapun karakter wajibul wujud (wajib ada) sebagai berikut:
a.     Dia tidak bersebab, karena sebab itu sendiri adalah dirinya
b.    Dia tidak murakkab, sebab sesuatu yang tersusun pasti mempunyai sebab susunannya, sebagaimana air untuk bisa mengada maka dia membutuhkan hidrogen dan oksigen sebagai sebab untuk dia bisa maujud.
c.      Bukan bagian dari yang lain, karena jika S sebagai wujud wajib bagian dari yang lain maka bagian yang lain itu adalah A, yang S adalah wujud wajib dan A adalah wujud mungkin karena wujud wajib hanya sama dengan wujud wajib dan wujud mungkin hanya sama dengan wujud mungkin. Sebagaimana sebab hanya sama dengan sebab dan akibat hanya sama dengan akibat. Dan kalau dia mungkin wujud berarti bukan S bagian dari A, tapi A adalah bagian dari S. Apabila A adalah wujud wajib sama dengan S, berarti S tidak BERBADIAN karena yang ada hanyalah ada dan selain dari ada adalah ketiadaan. Akan tetapi bila A adalah wujud wajib yang tidak sama dengan A, berarti ada dua wujud wajib, dan ini adalah mustahil karena sesuatu yang berbilang maka pasti dia tidak sempurna sebagaimana halnya laki-laki akan mempunyai batasan yang tidak dimiliki dari perempuan seperti juga sebaliknya, dan sesuatu yang tidak sempurna mustahil kita anggap dia sebagai yang maha kuasa dan pencipta karena yang maha kuasa adalah yang tidak mempunyai batasan dan kekurangan, se bagaimana yang dipahami oleh Ahriman dan Ahuramazda tentang konsep ketuhanan yang meyakini ada Tuhan baik dan Tuhan buruk inilah kelemahan teori tersebut sebagaimana yang telah saya jelaskan.
d.     Tidak lebih dari satu, yaitu satu dalam pemahan filosofis, bukan matematika, karena satu dalam matematika masih bisa terbagi, sementara Tuhan tidak berjumlah dan tidak akan mungkin terbagi karena yang terbagi berarti mempunyai keterbatasan dan itu adalah mustahil bagi Tuhan.
Karakter wujud wajib karena yang lain adalah: bersebab, murakkab, bagian dari yang lain dan lebih dari yang satu. Seperti yang terjadi pada alam dan manusia. Dan akibat akan musnah bila sekiranya dia menjauh dari sebabnya, sebagaimana panas tidak akan pernah ada ketika api tidak ada dan sinar matahari tidak akan maujud bila seandainya matahari tidak ada.
Manusia sebagai wujud mungkin sekaligus sebagai sifat selalu tergantung kepada sebabnya yaitu wajibul wujud (Tuhan), sehingga manusia mempunyai fitrah untuk selalu mengkomunikasikan (penyembahan) dirinya kepada Tuhannya, namun yang menjadi masalah kemudian bagaimana proses terima kasih itu dapat terwujud sesuai dengan kehendak Tuhan, maka sesuai dengan prinsip logis dan rasional Tuhan harus mengirmkan utusannya untuk memberikan gambaran bagaimana cara kita melakukan komunaikasi (penyembahan) kepada-Nya. Dan berdasarkan itu Tuhan menurunkan utusannya untuk mengajarkan manusia tentang proses penyembahan tersebut dalam bentuk yang sifatnya praktis dan teoritis. Adapun yang bersifat teorits adalah yang menjelaskan bagaimana pengetahuan kita tentang realitas dan yang bersifat praktis adalah yang menjelaskan data-data metafisika yaitu kitab suci. Konsep teoritis dan praktis harus sesuai dan bisa membuktikan kepada kita tentang sebuah keyakinan yang benar yang tentunya berlandaskan dengan rasionalitas kita dengan tetap memegang perinsip kedua yaitu data-data kitab suci untuk mencari mana agama yang paling benar  tentunya dengan berlandaskan argumentasi rasional, bukan dengan perasaan tanpa landasan yang argumentatif atau dengan skriptual yang kemudian melakukan klaim kebenaran dan konsekwensi dari cara berpikir seperti ini kita tidak segan-segan melakukan pengkafiran bahkan memerangi orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Akan tetapi dengan prinsip rasionalitas berdasarkan hukum kausalitas dan prinsip niscaya lagi rasional kita dapat membuktikan eksistensi Tuhan, hanya saja kita belum memilih mana agama yang paling benar, ataukah sebenarnya semua agama saja, tapi yang jelas kita telah membuktikan keberadaan Tuhan, bahwa Tuhan mempunyai eksistensi, tinggal bagaimana kita mampu menyelaraskan konsepsi rasional kita dengan skriptual atau kitab suci, dan saya meyakini bahwa itu tidak akan mungkin terjadi kontradiksi. Karena akal dan skriptual keduanya berasal dari sumber yang sama. Untuk pembahasan selanjutnya kenapa kita mesti memilih agama, dan kenapa islam sebagai pilihan kita, apakah islam agama rasional ataukah agama normatif. Maka penulis akan membahas pada edisi selanjutnya dalam pembahasan Esensi Ajaran Islam.

Wabillahi Taufiq Wal-Hidayah
Wassala’mu Alaikum Wr.Wb.

M.Rudi Al-Mandary
Kabid Diklat LPL PB HMI

TEOLOGI


1.      KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM
Aqidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :
1.      Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang terjadi pada konsep Trinitas  dsb.
2.      Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia  menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” QS. 30:30
3.      Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah :”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ QS. 42:21
4.      Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” QS 2:111
5.      Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka” QS. 43:22

2.      PENGERTIAN MA’RIFATULLAH
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah)  adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

3.      CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH
Seseorang dianggap ma’rifatullah  (mengenal Allah) jika  ia telah mengenali
1.      asma’ (nama) Allah
2.      sifat Allah dan
3.      af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.

Kemudian dengan bekal pengetahuan  itu, ia menunjukkan :
1.      sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,
2.      ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
3.      pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
4.      sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
5.      berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
6.      membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.

Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT.  Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim.  Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri. 
Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” QS. 35:28
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”

4.      URGENSI MA’RIFATULLAH
a.      Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). QS.47:12
b.      Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur”  (HR.Muslim)
Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.
c.      Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
d.      Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.
e.      Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan  akherat.

5.      SARANA MA’RIFATULLAH
Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :
a.     Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191
Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu’aim

b.     Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..”  QS. 57:25

c.      Asma dan Sifat Allah
Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan  perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :
“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna  (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110
Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :
“ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180  

Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.










    •