BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
System/Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam
suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang
seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga
disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang
pantas dilakukan dalam menjalani interaksi
sosialnya.
Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau
suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah
terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam
masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
System
tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah
laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Misalnya, bagi siswa yang terlambat
dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat ulangan
tidak boleh meneruskan ulangan.
System merupakan
hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk
secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk
secara sadar. Norma dalam masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk
standar perilaku yang pantas atau wajar.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah di bahas, maka rumusan masalah nya adalah:
1. Bagaimana bentuk system social yang
ada dalam masyarakat
2. Bagaimana legitimasi dari sejarah
terbentuknya system social dalam masyarakat
3. Bagaimana membudidayakan pendidikan
dalam masyarakat social.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sistem sosial
System/norma social adalah kebiasaan
umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan
wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan
sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma
menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi
sosialnya.
Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau
suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah
terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam
masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
System tidak boleh dilanggar. Siapa
pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan
yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman. Misalnya, bagi siswa yang
terlambat dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat
ulangan tidak boleh meneruskan ulangan.
System merupakan hasil buatan manusia sebagai
makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja.
Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam
masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang
pantas atau wajar.
Tujuan dari semua kegiatan tersebut adalah untuk
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai isu-isu pengelolaan
sumberdaya pesisir dan membangun kemampuan masyarakat untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada. Tujuan akhir
kegiatan perencanaan dan pengelolaan itu sendiri adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat pesisir dan juga meningkatkan dan menjaga kelestarian
sumberdaya pesisir. Beberapa kegiatan
pelaksanaan awal (pengelolaan sumberdaya, peningkatan mata pencaharian dan
pengembangan masyarakat) telah dilakukan oleh masyarakat dengan pendanaan yang
disediakan oleh proyek USAID dan yang bersumber dari pemerintah Indonesia. Pada waktu survei, banyak dari kegiatan
implementasi ini yang sedang berlangsung dan kegiatan implementasi tambahan
sedang direncanakan. Dari tujuh pelaksanaan awal yang dievaluasi, 5 dianggap
sukses atau agak sukses, tidak satupun yang dianggap tidak sukses, dan 2 dianggap
terlalu awal untuk dievaluasi (Crawford dkk., 2000a).
Sejumlah capaian penting telah tercapai selama kurun
waktu 3 tahun periode proyek antara 1997 – 2000. Profil sumberdaya pesisir telah disusun
(Tangkilisan dkk., 1999a) oleh kelompok inti. Kemudian diikuti dengan pembuatan
rencana pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang disetujui oleh
masyarakat dan secara formal ditetapkan dengan peraturan desa pada tanggal 6 November
1999 (Tangkilisan dkk., 1999b).
Kegiatan-kegiatan penting lainnya yaitu pembutan daerah perlindungan
laut (DPL) berbasis-masyarakat yang ditetapkan pada tanggal 25 Agustus 2000,
pembangunan tanggul pencegah banjir, kegiatan sertifikasi tanah pekarangan
untuk 220 rumah tangga, pembentukan badan pengelola desa sebagai badan yang
mengimplementasikan rencana pembangunan dan pengelolaan desa, dan
organisasi-organisasi tingkat desa yang berhubungan dengan proses pembangunan
dan pengelolaan. Organisasi-organisasi
yang telah terbentuk yaitu kelompok agroforestry, kelompok pengelola daerah
perlindungan laut, kelompok katinting, kelompok manta tow, dan kelompok
penanaman pohon bakau. Proses
perencanaan partisipatif secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tulungen dkk.,
(1999). Pada waktu bersamaan yaitu
ketika proses perencanaan partisipatif dan penerapannya sedang berlangsung,
proyek menyelenggarakan beberapa studi dasar tentang sosial ekonomi dan
lingkungan (Manjoro, 1997; Crawford dkk., 1999; Kusen dkk., 1999; Lee and
Kussoy, 1999)
Salah satu bagian penting dari strategi proyek
adalah melibatkan masyarakat dalam kegiatan- kegiatan proyek. Berdasarkan pengalaman dari pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis- masyarakat yang telah dilakukan sebelumnya di
seluruh dunia menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan/peran serta masyarakat
dalam setiap tahapan proses kegiatan.
Perbedaan jenis kelamin merupakan bagian yang penting dari strategi
keperansertaan, khususnya keterlibatan anggota5 masyarakat wanita dalam semua
kegiatan proyek. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan proses pembangunan dan pengelolaan di Desa Talise peran serta
masyarakat berdasarkan perbedaan jenis kelamin senantiasa menjadi suatu
perhatian. Makalah ini merangkum partisipasi dan pengetahuan masyarakat
berdasarkan perbedaan jeniskelamin dalam kegiatan proyek, perubahan sosial dan
ekonomi yang terjadi di masyarakat, persepsi masyarakat mengenai pengaruh
kegiatan manusia terhadap sumberdaya alam, anggapan terhadap permasalahan dan
kualitas hidup, dan lebih jauh lagi apakah perubahan yang ada mungkin disebabkan
karena pengaruh proyek atau bukan.
Makalah ini merupakan rangkuman dari penilaian sementara yang dilakukan
pada tahun 2000 (Sukmara dkk., 2001).
B. SEJARAH
MASYARAKAT SOSIAL
1.
Realitas, Pengalaman, dan
Ekspresinya.
Dunia sastra Indonesia pernah dihebohkan oleh sebuah
puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran.” Puisi itu memgundang
polemik bukan karena ‘kerumitannya,’ melainkan lantaran ‘kesederhanaannya’
yaitu cuma berisikan satu baris kalimat yang tersusun dari empat kata: “Bulan
di atas kuburan.” Orang-orang pada bingung: bagaimana menafsirkan puisi itu?
Kritikus sastra pun jadi ikut sibuk menafsirkan.
Mereka yang menganut paham naturalisme dan
positivisme meyakini Sitor pasti telah melakukan kesalahan. Mana mungkin dia
dapat melihat bulan pada malam lebaran? Bukankah pada malam itu bulan tidak
dapat dilihat mata telanjang, sehingga para penentu saat akhir masa puasa harus
menggunakan teropong untuk menentukan apakah bulan sudah muncul. Kesimpulannya:
Sitor ngaco.
Lain lagi dengan pendapat kritikus yang menganut
paham simbolik. Menurut mereka Sitor tidak melaporkan keadaan alam empirik
lewat puisi itu. Benda-benda yang disebut dalam selarik puisi itu adalah simbol
dari hal lain. Lantas, para penganut paham ini membuat penyejajaran antara
malam dengan kuburan, serta Lebaran dengan bulan. Malam dan kuburan dianggap
memiliki kesejajaran kualitas: gelap, hitam, kotor; sementara bulan dan lebaran
berkonotasi pada: terang, putih, bersih. Dalam puisi tersebut kedua kualitas
tersebut diperantarai oleh kata “di atas.” Dengan demikian, secara keseluruhan
puisi Sitor yang paling ekonomis itu bermakna (dimaknai): terang
(putih/bersih/suci) di atas (mengatasi) gelap (hitam/kotor/dosa).
Perbedaan tafsir antara pihak naturalis-positivis
dengan pihak simbolis-strukturalis memunculkan gagasan: bagaimana kalau Sitor
sendiri diminta menjelaskan maksud puisinya tersebut. Maka diundanglah Sitor
untuk menjelaskan proses penciptaan puisi itu. Sitor pun kemudian bercerita;
suatu malam ia berjalan kaki hendak menuju rumah Pramoedya Ananta Toer, dan
ternyata ia tersesat. Di saat tersesat itu, ia melihat sebuah tembok putih. Ia
penasaran; apa yang ada di balik tembok itu. Maka, Sitor pun lantas naik di
atas batu di dekat tembok, dan melongok: “… Oo… kuburan.” Kemudian ia turun dan
melanjutkan jalan kakinya mencari rumah Pram. Rupanya pengalaman menemukan
tembok putih, melongok, dan melihat kuburan tersebut sangat membekas dalam diri
Sitor, dan tidak dapat segera dilupakan. Ia kemudian mengekspresikan pengalaman
itu dalam puisi sebarisnya yang telah menghebohkan banyak orang itu. Tidak
dijelaskan, apakah peristiwa itu dialaminya pada malam lebaran atau malam-malam
yang lain, tidak pula dijelaskan apakah malam itu dia melihat bulan.
Kisah perdebatan seputar puisi Sitor di atas, yang
diceritakan kembali berdasarkan buku Proses Kreatif susunan Pamusuk Eneste,
merupakan ilustrasi yang baik mengenai perbedaan antara realitas, pengalaman,
dan ekspresi. Perbedaan antara ketiga hal itu telah menarik perhatian para
antropolog dan dituangkan, antara lain, dalam buku Anthropology of Experience
yang diedit oleh Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (1986). Mengawali
kumpulan karangan yang terkumpul di buku itu, Bruner menegaskan adanya jarak
antara (1) realitas (yang senyatanya ada di luar sana, apapun itu – status
ontologis sesuatu), (2) pengalaman (bagaimana realitas tersebut menghampiri
kesadaran manusia – atau lebih tepatnya, bagaimana kita menautkan diri dan
menginternalisasi realitas), dan (3) ekspresi (bagaimana pengalaman seseorang
dibingkai dan diartikulasikan). Ketiga hal itu tidak identik satu sama lain.
Realitas bersifat umum, general (walaupun barangkali
tidak selalu universal), dalam arti kenyataan yang sama dapat dialami oleh
banyak orang. Banyak orang dapat mengalami kejadian tersesat di waktu malam di
daerah yang sama dan menjumpai kuburan yang sama (bahkan pada waktu yang sama).
Namun, realitas yang sama itu selalu dialami orang per orang, masing-masing
dengan disposisi mental serta ketubuhannya sendiri. Dengan lain kata:
pengalaman itu selalu bersifat individual, subyektif. Disposisi mental (alam
pikir, rasa, emosi yang ada dalam diri) dan ketubuhan (kondisi fisik dan
posisinya dalam lingkungan fisik) Sitor pribadi lah yang telah mengarahkan
kejadian tersesat tadi kepada sebuah pengalaman yang unik dan membekas. Kalau
kejadian itu saya atau Anda alami, barangkali tidak akan teralami seperti itu.
Artinya, realitas yang sama, umum, general, ketika dialami seseorang akan
‘disaring’ lewat disposisi mental dan fisiknya menjadi pengalaman diri. Maka,
terciptalah jarak atau perbedaan antara realitas dan pengalaman, pengalaman
tidak lagi identik dengan realitas.
Lebih lanjut dikatakan Bruner bahwa hubungan antara
realita, pengalaman, dan ekspresinya bersifat dialogis dan dialektis. Ketika
pengalaman sesorang diekspresikan, artinya dituangkan dalam bentuk atau
tingkahlaku ter-indra (terdengar, terlihat, tercecap, terasa, terbaui), maka
hasil interpretasi subyektif atas realita tadi terlahir atau hadir dalam
realita. Sementara itu, ekspresi terstruktur oleh pengalaman (kita hanya dapat
mengekspresikan yang teralami), sedangkan pengalaman juga tersktruktur oleh
ekspresi (orang Jawa mengalami kehormatan melalui ekspresi kebahasaan krama,
atau pengalaman keruangan terstruktur oleh ekspresi artistik dan teknis sang
arsitek).
Dari sini kita dapat beralih pada persoalan media
ekspresi. Sebagai sebuah aktivitas pengejawantahan, pewujudan, materialisasi,
penubuhan (embodiment), ekspresi senantiasa membutuhkan media. Secara teoretik
dapat dikatakan segala sesuatu yang indrawi berpeluang untuk dijadikan media
ekspresi. Namun dalam praktiknya, peluang tersebut sedikit banyak terbatasi.
Salah satu pembatasnya adalah pengalaman itu sendiri. Sekedar sebagai sebuah
contoh sederhana, mari kita perhatikan ekspresi kebahasaan untuk rasa panas.
Dalam bahasa Indonesia, rasa panas antara lain diekspresikan lewat kata
‘merah,’ misalnya dalam frasa ‘merah membara.’ Rasa ‘panas’ dan warna ‘merah’
merupakan gejala yang dialami manusia, dan hubungan di antara keduanya dijembatani
oleh pengalaman manusia atas kedua gejala tersebut: bara atau api yang terasa
panas sekaligus memancarkan sinar berwarna merah. Panasnya bara api tidak
dialami bersama dengan terindranya warna hijau, misalnya. Di sini kita dapati
contoh bagaimana pengalaman tersebut men-struktur ekspresi kebahasaan untuk
pengertian panas.
sebenarnya perkembangan teknologi ‘perkomporan’
menghadirkan realita lain: sinar biru yang terpancar dari kompor gas ternyata
menandakan suhu api yang lebih tinggi daripada sinar berwarna merah. Dengan
demikian, sebenarnya terdapat peluang untuk mengekspresikan ‘panas’ lewat kata
‘biru.’ Hanya saja, peluang semacam itu baru terbuka ketika kita telah
mengalaminya. Sebelum hadirnya teknologi kompor gas orang tidak pernah
membayangkan (artinya: memiliki pengalaman mental) bahwa warna biru dapat
dihasilkan oleh benda panas. Pengalaman selalu bersifat historis (menyejarah),
ia berada dalam kurun waktu material dan teknologi manusia tertentu.
Bahkan, ketika teknologi kompor gas sudah menjadi hal
yang biasa dalam kehidupan kita sehari-hari, frasa ‘panas membiru’ belum lagi
lazim diungkapkan. Di sini terlihat bagaimana pengalaman kebahasaan turut
men-struktur ekspresi, yaitu dalam bentuk konvensi (kesepakatan) atau kelaziman
bahasa. Lewat kesepakatan dan kelaziman seperti itu ekspresi kebahasaan menjadi
lebih mudah dan lebih tepat dimengerti; meskipun pada dasarnya pengalaman
selalu bersifat personal (hanya dapat dimengerti sepenuhnya oleh pemilik
pengalaman) dan dalam komunikasi kita selalu menafsir ekspresi [kebahasaan,
ketubuhan, materi] komunikator. Singkat kata, pengalaman [kebahasaan] yang
sudah ada turut membingkai dan membatasi tindakan ekspresi manusia.
Selain oleh pengalaman (lebih tepatnya pengalaman
kolektif yang terkonvensi), ekspresi juga dibatasi oleh sifat dan kondisi
material media ekspresinya. Kembali ke contoh ekspresi rasa panas, hal itu
dapat diekspresikan lewat media bahasa tulis, bahasa lisan, angka, grafis,
warna, gerak tubuh, dan entah apa lagi. Setiap media ekspresi memiliki sifatnya
masing-masing, dan pada gilirannya sifat-sifat itu ikut menentukan seberapa
jauh/banyak/luas materi tersebut mampu mengekspresikan rasa panas. Misalnya,
bahasa tulis cenderung beroperasi di wilayah kognitif (alam pikir). Tulisan
‘panas’ merangsang pengertian kita mengenai suhu, seperti halnya angka penunjuk
suhu pada termometer. Namun, bahasa tulis pada umunya cenderung kurang berdaya
untuk mengolah perasaan (afeksi) pembacanya. Untuk dapat mengelola rasa lebih
baik, maka barangkali perlu diurus perihal grafis, misalnya: panas panas panas
panas panas panas
atau bahkan …. ……
atau bahkan …. ……
Pada saat kita mempertimbangkan media ekspresi, maka
sebenarnya kita berurusan dengan persoalan representasi. Ekspresi adalah
representasi, dan representasi atas realita tidak sama dengan realita itu
sendiri. Ekspresi menghadirkan realita ‘kedua,’ ‘ketiga,’ dan seterusnya yang sama
nyatanya seperti halnya realita ‘pertama.’
2.
Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara realitas, pengalaman, dan
ekspresinya seperti disebutkan di atas juga berlaku dalam dunia keilmuan, atau
lebih tepatnya dunia ilmu pengetahuan. Realitas merupakan titik berangkat dari
semua ilmu pengetahuan, baik itu realitas empirik maupun realitas non-empirik.
Bagi ilmu pengetahuan tertentu, realitas juga merupakan titik akhir – hal yang
ingin dituju atau dihasilkan, diciptakan oleh ilmu pengetahuan. Namun demikian,
bagaimana realitas itu dialami (experienced) oleh [pelaku] ilmu pengetahuan
jelas berbeda dengan yang dialami oleh (misalnya) seorang penyair. Jadi, dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara mengalami realitas –
sehingga dalam pengertian ini dapat kira rujuk kembali petuah leluhur Jawa yang
mengatakan bahwa “ngelmu iku jalaran lan kanthi laku.” Tentu saja, ngelmu tidak
sama dengan ilmu pengetahuan. Namun wejangan tersebut menegaskan peran ngelmu
dan ilmu pengetahuan sebagai cara memandang menempatkan diri, dan mengelola
realita.
Bahkan, dalam dunia ilmu pengetahuan (sebenarnya seperti
juga dalam dunia ngelmu) tidak terdapat ketunggalan cara mengalami realita, dan
perbedaan cara mengalami tersebut pada gilirannya menghasilkan beragam jenis
‘tahu’ yang diekspresikan masing-masing disiplin ilmu pengetahuan. Di atas
telah disebutkan bahwa pengalaman merupakan hal yang subyektif. Pada lingkup
ilmu pengetahuan, subyektivitas pengalaman tidak tampil dalam bentuk
subyektivitas orang per orang, melainkan sebagai subyektivitas disiplin
keilmuan, atau subyektivitas paradigmatik.
Realitas tubuh manusia dialami oleh ilmu kedokteran
sebagai sebuah sistem biologi, sementara tubuh yang sama dialami oleh ilmu
sosial sebagai tubuh perempuan dan laki-laki (misalnya). Ilmu kedokteran dan
ilmu sosial menegakkan ‘penge-tahu-an’ mereka masing-masing berdasarkan cara
memandang, menempatkan diri, dan mengelola realita yang sama, yaitu tubuh
manusia.
Sebuah
implikasi penting dari penjelasan semacam itu adalah dengan demikian
‘ke-tahu-an’ yang diperoleh melalui masing-masing cara mengalami itu tidak akan
pernah menghasilkan ‘ke-tahu-an’ yang total, menyeluruh. Kebenaran setiap
bidang ilmu pengetahuan selalu merupakan kebenaran parsial, sebagian saja: yang
batas-batasnya ditentukan oleh cara yang ditempuh untuk mengalaminya. Atau,
dipahami dari sisi sebaliknya: kebenaran realita terlalu luas untuk dapat
dialami dan dimengerti (diketahui) oleh masing-masing ilmu pengetahuan. Itulah
pengertian pertama dari pernyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah
obyektif, tidak akan pernah netral – yaitu karena berlakunya subyektivitas yang
dibangun berdasarkan asumsi perspektif dan metodologis. Pengetahuan niscaya
tentang sesuatu, tidak pernah tentang segalanya.
Ilmu
pengetahuan (alam, sosial, budaya) dan akal-sehat (common-sense) dalam hidup
sehari-hari tumbuh dari akar yang sama, yaitu keingin-tahuan manusia. Namun
pertumbuhan keduanya berbeda. Perbedaan tersebut bisa dipahami sebagai berikut:
Pertama, akal-sehat berorientasi pada pemecahan problem nyata sehari-hari yang
praktis, sementara ilmu pengetahuan bertujuan pada penemuan penjelasan tentang
tata dan keteraturan gejala-gejala yang dijumpai manusia. Akal-sehat cenderung
mencari jawaban-jawaban atas satu per satu persoalan yang dihadapi; dan
persoalan keseharian serta pemecahannya kebanyakan bersifat terbatas pada hal
ini, di sini, saat ini. Oleh karenanya pengetahuan yang dihasilkan melalui akal
sehat mempunyai keterbatasan penerapan pada situasi dan kondisi yang serupa.
Akal sehat cenderung kontekstual. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan mengarah
pada penjelasan-penjelasan yang bersifat general (umum) tentang kelompok atau
jenis gejala tertentu. Itu sebabnya .
ilmu-pengetahuan
mengembangkan teori, konsep, rumus; yang tidak sekedar mengacu pada hal-hal
yang khusus saja, melainkan berupaya menemukan penjelasan bagi hal-hal sejenis
yang muncul di waktu dan dalam ruang yang berbeda. Dengan kata lain ilmu
pengetahuan berupaya mencapai suatu pengetahuan yang bersifat universal. Karena
sifatnya yang universal itu, salah satu ciri yang membedakan ilmu dari
akal-sehat adalah lebih tingginya tingkat abstraksi pada ilmu.
Pebedaan
berikutnya terletak pada cara kerja kedua jenis pengetahuan tersebut. Cara
kerja akal-sehat dalam kehidupan sehari-hari menyandarkan diri pada kebiasaan,
intuisi, pengalaman dan pendapat umum yang kebenarannya seringkali tidak
dipertanyakan secara tuntas. Manfaat praktis yang dapat segera dirasakan
merupakan pedoman utama bagi akal-sehat. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan
bekerja berdasarkan dan dibangun dari keraguan yang dipertahankan selama
mungkin pada setiap jenjang ‘tahu.’ Cepat puas terhadap jawaban yang diperoleh
bukan merupakan sikap yang tepat.
Ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, sikap kritis terhadap temuan-temuan ilmiah merupakan
hal yang terpuji. Salah satu bentuk keraguan yang harus selalu dimunculkan
adalah apakah kebenaran yang diklaim oleh ilmu pengetahuan terbukti secara
universal. Bentuk keraguan yang lain, misalnya dapat muncul berupa pertanyaan
“Kapan pernyatan bahwa bumi itu bulat bisa dianggap sebagai kebenaran?” Bila
memang bulat, lalu mengapa ada dataran dan kelandaian, lembah yang curam? Salah
satu kesimpulan yang dapat ditarik dari contoh keraguan tersebut adalah
kehadiran sudut pandang (perspektif) yang selalu terkandung dan melekat pada
kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah dianggap benar sebatas diikuti cara pandang
atau perspektifnya.
Dengan
demikian prosedur kerja ilmiah, yakni proses dan cara yang ditempuh untuk
mencapai ‘tahu,’ merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam ilmu.
Secara garis besar, proses tersebut mengutamakan cara berpikir yang sistematis
dan logis. Ilmu pengetahuan bersifat sistematis dalam arti bahwa proses dan
cara yang ditempuh dalam ilmu harus dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur
penyusun atau faktor-faktor penyebab sesuatu hal yang ingin diketahui serta
hubungan logis antar unsur-unsur tersebut ke dalam sebuah sistem. Ilmu juga
sistematis dalam pengertian bahwa kebenaran yang dicapai sebuah ilmu merupakan
hasil dari cara kerja tertentu yang berlaku dalam ilmu tersebut, dan mungkin
saja status kebenarannya tidak sederajat bila dipelajari secara ilmu lain. Itu
sebabnya, ilmu sering pula diberi kata awalan ‘disiplin’ karena ia mensyaratkan
keketatan prosedural tertentu.
Perbedaan
ketiga terletak pada perbedaan antara rentang usia ‘kehidupan’ ilmu pengetahuan
dan akal-sehat. Karena ilmu pengetahuan mengambil sikap kritis terhadap
pengetahuan yang dihasilkannya, akibatnya rentang hidup ilmu cenderung lebih
pendek daripada akal-sehat. Kebenaran demi kebenaran datang dan pergi silih
berganti seiring dengan munculnya teori baru. Melalui prosedur tersebut ilmu
pengetahuan menjadi sistem yang dinamis; ada temuan baru yang memperkaya
khasanah ilmu, terjadi perluasan bidang kajian, tapi ada pula bagian-bagian
ilmu pengetahuan yang berangsur-angsur ditinggalkan, menjadi usang, dan
akhirnya tak lagi diingat apalagi dipakai. Itulah garis besar siklus hidup ilmu
pada umumnya. Kecepatan perubahan dan rentang usia kebenaran seperti itu
tentunya berbeda dari akal-sehat yang cenderung lebih lamban siklus hidupnya.
Bagaimana
dengan siklus hidup ilmu-ilmu sosial-budaya? Sosiologi, sejarah, ilmu bahasa,
antropologi, ekonomi dan geografi sosial juga tidak terlepas dari siklus
semacam itu. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu sosial-budaya lebih dinamis
daripada ilmu-ilmu alam (science), karena obyek studinya adalah perilaku dan
mental manusia di segala penjuru dunia dari waktu ke waktu. Perubahan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat tentunya membawa implikasi pada kebenaran
yang diklaim oleh ilmu pengetahuan sosial-budaya. Sebagai contoh, perkembangan
teknologi komunikasi saat ini telah mengantar warga dunia pada era komunikasi
global via internet, dengan email, voicemail, dan entah apa lagi. Perkembangan
ini tentunya membawa akibat pada terjadinya perubahan perilaku komunikasi
manusia. Misalnya, kita tidak lagi harus bertanya untuk mendapatkan informasi.
Dilandasi
slogan demokratisasi informasi, sekarang hanya dengan memiliki alamat email
atau menjadi anggota mail-list tertentu, maka kita akan kebanjiran informasi –
termasuk informasi-informasi yang tidak diinginkan. Artinya, bertanya (yang
ternyata mempunyai fungsi kontrol terhadap informasi yang bakal diterima)
menjadi kurang signifikan dalam komunikasi via internet. Memasuki dunia
informasi internet bagaikan masuk ke dalam sebuah pasar atau mall raksasa yang
riuh dengan teriakan, jawilan, rayuan penjaja – termasuk rayuan gombal dan
kebohongan. Bila dalam perilaku bertanya secara konvensional kita masih bisa
mengontrol pada siapa kita akan mencari informasi, dalam dunia internet para
pemberi informasi tanpa wajah dengan leluasa beramai-ramai menyerbu kita.
Demikianlah, perkembangan teknologi menuntun terjadinya perubahan sikap dan
perilaku komunikasi manusia.
Bercermin
dari contoh perkembangan teknologi informasi di atas, kita melihat hubungan
dialektis antara dunia sehari-hari yang dihadapi dengan akal sehat dan dunia
ilmu sebagai sebuah disiplin. Perubahan yang dibawa masuk ke dalam dunia
sehari-hari oleh perkembangan ilmu pada gilirannya akan memberi pengaruh pada
dunia ilmu itu sendiri. Hubungan dialektis semacam itu juga berlaku bagi
ilmu-ilmu sosial-budaya. Perkenalan suatu masyarakat dengan agama dunia, yang
juga memiliki bentuk kebenaran yang lain dari kebenaran akal-sehat maupun
kebenaran ilmu pengetahuan, pada gilirannya menelorkan perubahan-perubahan
dalam ilmu sosial-budaya. Demikian pula ketika paham evolusi yang bermula dari
evolusi biologis diterapkan pada evolusi sosial-budaya, dunia keseharian dengan
akal-sehatnya pun mengalami kegoncangan dan memerlukan penyesuaian.
Salah
satu butir penting yang bisa disimpulkan dari paparan di atas adalah bahwa
‘nyawa’ dari kegiatan ilmiah tidak lain berupa pertanyaan yang perlu senantiasa
dipupuk-kembangan serta dicarikan jawabnya melalui prosedur-prosedur keilmuan
tertentu. ‘Tahu’ dalam arti hafal hanya menghasilkan hal-hal yang nantinya akan
dilupakan, ‘tahu’ dalam arti dapat mengoperasikan hanya akan menghasilkan
tukang-tukang ilmu pengetahuan; sementara, lebih dari kedua bentuk ‘tahu’
tersebut, ‘tahu’ dalam arti menguasai memerlukan pemahaman dan penguasaan
mengenai prinsip-prinsip kerja keilmuan. Hanya dalam bentuk ‘tahu’ yang
terakhir itulah kita dapat berperan-serta secara aktif dalam dunia ilmu.
3.
Cultural Studies
Bidang ilmu pengetahuan yang relatif
baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni
studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan
sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies
terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling
mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang
dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu
dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan
multidisipliner. Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode
dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan
realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial
dalam kehidupan mutakhir.
Karena cultural studies merupakan bidang
keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun
pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas
selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal
yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial (untuk bahasan selebihnya,
silakan baca buku Chris Barker).
Salah satu ciri terpenting cultural
studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari
budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan,
diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh
orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies. Budaya bukanlah
yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari
pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life)
sekelompok masyarakat. Salah satu pondasi terpenting bagi pendekatan yang
memandang budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang
konstruksi sosial atas realita (the social construction of reality). Dalam
perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan, diperbincangkan dan dilupakan,
dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan atau dihindari,
berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat.
‘Tugas’ cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun
konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat
melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi.
Dalam era teknologi informasi dewasa ini
perhatian cultural studies terhadap masalah konstruksi sosial atas realita
telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa, khususnya
televisi – namun, sebenarnya juga pada film, internet, handphone, radio, koran,
majalah, poster, kotbah/pidato, gosip, dan sebagainya. Persoalan yang diajukan
adalah perihal kaitan antara representasi dan media yang digunakan. Di samping
itu, perspektif atau cara pandang cultural studies juga ditandai dengan adanya
kesadaran tentang kehadiran relasi kuasa (power relati
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil dari pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. System/norma social adalah kebiasaan
umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan
wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan
sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan social/system
sosial.
2. Kisah
perdebatan seputar puisi Sitor di atas, yang diceritakan kembali berdasarkan
buku Proses Kreatif susunan Pamusuk Eneste, merupakan ilustrasi yang baik
mengenai perbedaan antara realitas, pengalaman, dan ekspresi
3. Bidang
ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk
sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Karena
cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian,
pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat
bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah
ini.
B. Saran
Kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca yang budiman sangat kami harapkan, demi kesempurnaan dalam penyusunan
makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar