Bangsa ini sedang menunggu peran implementasi
pendidikan yang mencerdaskan, membawa bangsa yang beradab, berdaya saing
tinggi, berkualiatas, dan mandiri. Namun sayang sekali, sejarah pendidikan di
bumi pertiwi ini selalu di
warnai oleh politik praktis dan kerdil segelintir raja-raja kecil, sehinnga pendidikan tidak mampu dan
tidak bisa melakukan hal-hal yang bersifat konstruktif. Realita membuktikan bahwa wadah yang
bernama pendidikan selalu di arahkan untuk memenuhi dan membenarkan kepentingan elite politik dan
kroni-kroninya. Pendidikan kita hari ini berada di balik jeruji besi kekuasaan ,maka pendidikan yang demikian
tidak akan memajukan bangsa yang beradab.
Kalau kita kembali melihat napak tilas sejarah
pendidikan di Negeri ini, maka kita akan melihat contoh telanjang bulat yang
membuat kita bergeleng kepala sambil berdecak-decak melihat dan mendengar
lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang sangat elitis, ambivalen, dan
merugikan bangsa ini. Era orde baru membawa pendidikan demi kepentingan para
pemodal. Pendidikan selalu ditujukan untuk mencetak para pekerja yang bisa di
gaji/upah dengan murah. Saat yang sama pun terjadi, kebebasan dalam dunia
pendidikan, khususnya dunia kampus, pun di pasung sedemikian durjana sehingga
kita pun tidak bisa berbuat apa-apa melaingkan mengekor dan mengakar tersungkur
di bawah keterpanggangan pembungkaman kebebasan berpendapat dan mengekspresikan
hasil kreativitas cara berpikir.
Namun tidak kala ironisnya ketika pasca
reformasi, yang dimimpikan bersama bisa membawa angin penyegar dan pencerahan
melalui dunia pendidikan, ternyata mimpi itu hanya bunga indah tidur yang
membuat Negeri ini semakin lelap dengan dan tidak pernah menganjak dari
persoalan yang semakin amburadul. Yaitu salah satu di antaranya adalah perampok dan pencuri secara berjamaah oleh
beberapa pihak elite politik praktis dan pragmatis . Mencuatnya beberapa
serpihan kebijakan pendidikan yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada
setiap penyelemggara pendidikan dan satuan pendidikan, maka ini memberikan satu
bukti nyata, bahwa pendidikan berada pada kerentanan komersialisasi pendidikan
sehingga menjadi keniscayaan apabila pendidikan pun menjadi komoditi siap
diperjual belikan dengan harga sangat tinggi. Akhirnya hanya kelompok yang
berkantong tebal yang bisa minikmati dan mengenyam santapan pendidikan yang
layak dan pantas, sementara orang-orang yang memiliki ekonomi menengah kebawa,
akan semakin jauh dengan sendirinya mengenyam pendidikan formal, dan akhirnya
lahirlah budaya bodoh dan kolot. Pemerintah pada konteks yang demikian memiliki
andil dan tanggung jawab besar dalam melayani sesuai yang di amanatkan oleh UUD
1945 pasal 31 ayat (1) yang menyatakan “setiap warga Negara berhak mendapat
pendidikan” dan ayat (3) yang
mengamanatkan kepada pemerintah agar menyelanggarakan pendidikan yang
meningkatkan ketakwaan dan berakhlak mulia, ayat(4) dan ayat-ayat selanjutnya.
Begitulah amanat reformasi namun sayangnya tidak sebanding lurus antara
harapan(das solen) dan kenyataan(
das sein) Ini ibarat “panggang
jauh dari api”.
Hal seperti diatas tidak menutup kemungkinan
akan menimpa kita semua dengan megah dan mewahnya sarana dan prasarana yang
kita nikmati hari ini akan berimplikasi pada terjadinya pendidikan sebagai
media melestarikan kekuasaan dan modal.
Dan juga sebagai barang dagangan yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang
banyak. Sebenarnya hal ini sudah menjadi keprihatinan para
pemikir-pemikir terdahulu semacam, Ivan Illich, Paulo Freire, Margaret Mead,
Nicholas Abercromble, Immanuel Wallerstei, Louis Althusser, Pierre Bourdieu,
dan para pemikir lainnya.
Tentu bila, mencermati maksudnya tersebut, maka
dapat diambil makna bahwa pendidikan selama ini berada dalam tarik-menarik
antara kepentingan besar yaitu kepentingan material, bagaimana pendidikan bisa
dijadikan ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pendidikan bukan lagi alat mencerdaskan bangsa yang adil dan beradab justru
sebaliknya.
Penulis mengajak kawan-kawan untuk melihat
kembali carut marut pendidikan di Negeri dan peraturan yang ada di sekitar kita
dengan membangun kesadaran kritis: yaitu:
1.
Penegasan diri dan
penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”
2.
Berusuha secara
sadar dan empiris untuk memperbaharui sistem yang tidak adil.
3.
Mencari
model-model peran yang sesuai dan mengedepankan dialog dari pada polemik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar