Mari Berbagi Dengan Trigon

Mari Berbagi Dengan Trigon
Mari Berbagi Dengan Trigon

Rabu, 25 Januari 2012

Sistem Pendidikan di Indinesia

Bangsa ini sedang menunggu peran implementasi pendidikan yang mencerdaskan, membawa bangsa yang beradab, berdaya saing tinggi, berkualiatas, dan mandiri. Namun sayang sekali, sejarah pendidikan di bumi pertiwi ini selalu di warnai oleh politik praktis dan kerdil segelintir raja-raja kecil, sehinnga pendidikan tidak mampu dan tidak bisa melakukan hal-hal yang bersifat konstruktif.  Realita membuktikan bahwa wadah yang bernama pendidikan selalu di arahkan untuk memenuhi dan membenarkan kepentingan elite politik dan kroni-kroninya. Pendidikan kita hari ini berada di balik jeruji  besi kekuasaan ,maka pendidikan yang demikian tidak akan memajukan bangsa yang beradab.
Kalau kita kembali melihat napak tilas sejarah pendidikan di Negeri ini, maka kita akan melihat contoh telanjang bulat yang membuat kita bergeleng kepala sambil berdecak-decak melihat dan mendengar lahirnya beberapa kebijakan pendidikan yang sangat elitis, ambivalen, dan merugikan bangsa ini. Era orde baru membawa pendidikan demi kepentingan para pemodal. Pendidikan selalu ditujukan untuk mencetak para pekerja yang bisa di gaji/upah dengan murah. Saat yang sama pun terjadi, kebebasan dalam dunia pendidikan, khususnya dunia kampus, pun di pasung sedemikian durjana sehingga kita pun tidak bisa berbuat apa-apa melaingkan mengekor dan mengakar tersungkur di bawah keterpanggangan pembungkaman kebebasan berpendapat dan mengekspresikan hasil kreativitas cara berpikir.
Namun tidak kala ironisnya ketika pasca reformasi, yang dimimpikan bersama bisa membawa angin penyegar dan pencerahan melalui dunia pendidikan, ternyata mimpi itu hanya bunga indah tidur yang membuat Negeri ini semakin lelap dengan dan tidak pernah menganjak dari persoalan yang semakin amburadul.  Yaitu salah satu di antaranya adalah  perampok dan pencuri secara berjamaah oleh beberapa pihak elite politik praktis dan pragmatis . Mencuatnya beberapa serpihan kebijakan pendidikan yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada setiap penyelemggara pendidikan dan satuan pendidikan, maka ini memberikan satu bukti nyata, bahwa pendidikan berada pada kerentanan komersialisasi pendidikan sehingga menjadi keniscayaan apabila pendidikan pun menjadi komoditi siap diperjual belikan dengan harga sangat tinggi. Akhirnya hanya kelompok yang berkantong tebal yang bisa minikmati dan mengenyam santapan pendidikan yang layak dan pantas, sementara orang-orang yang memiliki ekonomi menengah kebawa, akan semakin jauh dengan sendirinya mengenyam pendidikan formal, dan akhirnya lahirlah budaya bodoh dan kolot. Pemerintah pada konteks yang demikian memiliki andil dan tanggung jawab besar dalam melayani sesuai yang di amanatkan oleh UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang menyatakan “setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”  dan ayat (3) yang mengamanatkan kepada pemerintah agar menyelanggarakan pendidikan yang meningkatkan ketakwaan dan berakhlak mulia, ayat(4) dan ayat-ayat selanjutnya. Begitulah amanat reformasi namun sayangnya tidak sebanding lurus antara harapan(das solen)  dan kenyataan( das sein) Ini  ibarat “panggang jauh dari api”.
Hal seperti diatas tidak menutup kemungkinan akan menimpa kita semua dengan megah dan mewahnya sarana dan prasarana yang kita nikmati hari ini akan berimplikasi pada terjadinya pendidikan sebagai media melestarikan   kekuasaan dan modal. Dan juga sebagai barang dagangan yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang banyak.  Sebenarnya hal ini  sudah menjadi keprihatinan para pemikir-pemikir terdahulu semacam, Ivan Illich, Paulo Freire, Margaret Mead, Nicholas Abercromble, Immanuel Wallerstei, Louis Althusser, Pierre Bourdieu, dan para pemikir lainnya.
Tentu bila, mencermati maksudnya tersebut, maka dapat diambil makna bahwa pendidikan selama ini berada dalam tarik-menarik antara kepentingan besar yaitu kepentingan material, bagaimana pendidikan bisa dijadikan ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pendidikan bukan lagi alat mencerdaskan bangsa yang adil dan beradab justru sebaliknya.
Penulis mengajak kawan-kawan untuk melihat kembali carut marut pendidikan di Negeri dan peraturan yang ada di sekitar kita dengan membangun kesadaran kritis: yaitu:
1.      Penegasan diri dan penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”
2.      Berusuha secara sadar dan empiris untuk memperbaharui sistem yang tidak adil.
3.      Mencari model-model peran yang sesuai dan mengedepankan dialog dari pada polemik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar